memahami kembali literasi

nyaho can tangtu ngarti,
ngarti can tangtu bisa,
bisa can tangtu tuman,
tuman can tangtu ngajadi

~ aki Mudihin*

Bener banget apa yang diungkap Aki Muhidin di atas ini. Dulu merasa sudah tahu tentang literasi, ternyata belum paham… karena belum paham ya belum tentu juga bisa… Boro-boro tuman atawa ngajadi

Menelusuri sesuatu memang perlu waktu panjang sampai kita menyadari bahwa kita belum tau apa-apa. Dulu kita di sekolah sekedar belajar, ulangan bagus nah kita sudah merasa bisa, toh nilai kita bagus. Pola pikir itu ternyata terbawa terus sampai kini, sampai kita diingatkan, dibangunkan oleh pesan Aki Muhidin tadi.

Sekarang mari bicara literasi. Literasi belakangan ini, setidaknya setelah mas Anies menjadi MendikBud jadi kata yang banyak disebut. Sampai ada gerakan 15 menit membaca setiap hari di sekolah. Bahkan sampai ada yang membuat rekor Muri, jumlah murid terbanyak membaca bersama-sama. Kata kunci Literasi kemudian banyak dibawa-bawa.

Memahami literasi, ternyata ceritanya berbeda. Literasi sepertinya, bukan sekedar baca dan tulis aksara belaka. Di titik ini, lewat berbagai proses yang selama ini berjalan di Semi Palar, kami mulai melihat dan memberanikan diri menyimpulkan bahwa literasi  adalah basis dari semua proses pembelajaran. Literasi bukan hanya berurusan dengan bahasa, jauh lebih luas dari itu… Baca tulis adalah bagian kecil daripadanya.

Archimede_bain.jpg

Saya contohkan lewat kisah bung Archimedes. (mohon maaf bung saya menempatkan foto anda yang sedang mandi)

Selama ini kita di sekolah belajar tentang Hukum Archimedes, melalui mata pelajaran IPA. Bahwa kalau sebuah benda dimasukkan ke dalam wadah yang penuh berisi air – atau benda cair apapun, volume benda – apapun bentuknya akan memindahkan air dengan volume yang sama dengan volume benda tersebut. Kita tahu Archimedes menemukan hal tersebut sewaktu sedang mandi – saat ditugaskan sang raja untuk menentukan apakah mahkotanya terbuat dari jumlah emas seperti yang dijanjikan pembuatnya. Ketika sedang mandi itulah Archimedes menemukan jawabannya dan kemudian iapun bersorak Eureka. Kita, hari ini mewarisi apa yang disebut dengan Hukum Archimedes. Hukum itu dituliskan di dalam buku cetak IPA dan kemudian di sekolah kita diminta menghafalkannya.

Contoh lain adalah hukum gravitasi yang ditemukan oleh Newton. Konon kabarnya Newton sedang duduk merenung di bawah pohon saat ia – tanpa disengaja menyaksikan sebuah apel yang jatuh di dekatnya. Peristiwa itu pula yang mencetuskan pemahaman Newton tentang hukum gravitasi. Sampai iapun menemukan rumus gravitasi – yang juga sekarang kita hafalkan dan dijadikan soal ulangan oleh para guru – supaya kita paham bahwa di alam semesta ini ada gaya yang bekerja yang disebut gaya gravitasi.

Lalu tanpa disadari ada hal mendasar yang hilang dari proses belajar kita dan anak-anak kita di sekolah. Yang hilang dari proses belajar kita adalah proses literasi. Proses membaca, dalam hal ini membaca fenomena. Di sekolah, kita langsung lompat ke mengetahui hukum, teorema, rumus, atau formulanya. Hal-hal itu yang harus kita ketahui, hafalkan – karena kita harus menghadapi ulangan. Padahal intisari dari peristiwa tersebut sebagai sebuah proses belajar adalah bagaimana proses penemuan yang terjadi menginspirasi Archimedes dan Newton hingga bisa menelurkan pemikiran2 tersebut.

Keduanya, Archimedes dan Newton membaca fenomena. Mereka membaca dan memahami bagaimana bekerjanya alam semesta, dan kemudian menuliskan pemahaman mereka ke dalam teori, hukum atau formula.

Sebuah proses literasi.

Pelajaran kita selama ini di sekolah melewati, mem by-pass proses membaca tersebut. Kita hanya membaca hasil akhirnya, menghafalkan hukum atau rumus yang sudah dituliskan di dalam buku cetak. Di situlah proses literasi yang sesungguhnya hilang.

Satu hal lagi yang memunculkan pemahaman tentang ini setelah saya mengikuti (secara daring) kuliah Fritjof Capra di Schumacher College. Capra berkisah tentang penelitian beliau terhadap naskah-naskah teks dan gambar-gambar yang dibuat oleh Leonardo Da Vinci semasa hidupnya (pada umumnya gambar, sketsa dan lukisan). Kita kenal Leonardo sebagai seniman yang luar biasa. Tapi catatan dan sketsa-sketsa yang dibuatnya adalah gambaran bahwa ia adalah ilmuwan yang sama luar biasanya.

leonardo-da-vinci pics.jpg

Seperti gambar di atas, semua yang dihasilkan Leonardo selama hidupnya adalah produk proses literasi yang sangat intens. Capra berkisah bagaimana sketsa-sketsa Leonardo menggambarkan bagaimana ia mengamati gerakan sayap burung-burung saat terbang dan menuangkannya ke dalam sketsa-sketsa yang sangat mendetail. Entah berapa lama waktu yang digunakan Leonardo untuk burung-burung yang sedang berterbangan untuk memahami bagaimana pola gerak, anatomi dan struktur badan burung2 tersebut agar bisa terbang. Hal yang sama dilakukan Leonardo untuk memahami struktur geologi tanah dan batuan, juga tumbuhan, anatomi manusia dan banyak lagi. Leonardo mengamati, dan menuliskan pengamatannya melalui goresan gambarnya. Sekali lagi, membaca, mengolah dan menuliskan… Sebuah proses literasi.

Di bawah saya tautkan rekaman kuliah Fritjof Capra di Schumacher College  yang menginspirasi tulisan ini.

Mudah2an terbaca intisari tulisan pendek ini. Literasi punya terjemahan sangat luas dan makna yang mendalam. Bukan sekedar baca tulis, literasi adalah basis semua proses pembelajaran – dan jangan-jangan lebih jauh dari itu – proses kehidupan manusia. Literasi adalah membaca fenomena, membaca situasi, membaca peristiwa dan menuliskannya kembali lewat berbagai bentuk. Lewat gambar, lewat gubahan musik, lewat puisi. Melalui rumus matematika dan berbagai teorema, ke dalam rancangan bangunan atau pakaian… Semua mulai dari proses membaca, mempersepsi, mengolah dan menuangkan kembali. Hal ini selaras dengan apa yang tertulis di kitab suci saudara-saudara kita umat Islam, mengenai Iqra. Iqra sebagai ayat pertama yang diturunkan Nabi Muhammad SAW mengajarkan umatnya untuk pertama-tama membaca dan mendapatkan pengetahuan.**

Sebagai penutup, kenapa sekarang kitapun begitu sulit membaca jaman, ke mana peradaban manusia akan bergerak, sepertinya itu dikarenakan kita sudah kehilangan kemampuan literasi kita yang mendasar. Kita sudah kehilangan kemampuan kita untuk membaca dengan seksama segala sesuatu yang terjadi di sekitar kita. Dan karenanya kita juga kesulitan memaknai dan tergagap-gagap menuliskan kembali apa yang harus kita lakukan dengan hidup kita.

Jadi, mari membaca dan menulis dalam pemaknaan yang baru.

*Aki Muhidin (alm) adalah guru silat Abah Iwan Abdurahman di Cianjur. Kata-kata di atas saya catat dari paparan Abah Iwan di sebuah forum diskusi di Rumah Nusantara sekitar tahun 2006.
Kata2 tersebut – dalam Bahasa Sunda dapat diartikan : Tahu belum tentu paham, paham belum tentu mampu, mampu belum tentu terbiasa, terbiasa belum tentu menjadi (menjadi bagian dari diri kita / being)
**mohon koreksinya di bagian comment seandainya ada sesuatu yang tidak tepat terkait Iqra

2 thoughts on “memahami kembali literasi

Leave a comment