masuk ke dalam waktu jeda

 

On-Off itu penting Andy”, kata-kata kang Wawan Husin masih terngiang sampai hari ini. Kata-kata tersebut saya catat dalam obrolan bersama kang Wawan, saat saya minta saran-saran beliau dalam tahap perintisan KPB (Kelompok Petualang Belajar) Semi Palar KPB adalah Jenjang teratas setelah angkatan pertama Semi Palar menuntaskan Ujian Nasional tanda mengakhiri pendidikan formal jenjang SMP.

Seperti diduga – dan kenyataannya memang demikian – kesibukan mengawal guliran KPB menyita banyak waktu saya. Seperti halnya jenjang2 sebelumnya, sejak tahun 2006 saat Semi Palar menginjak tahun ke dua – melangkah ke jenjang SD. Sebelum sempat merancang waktu jeda (taking some time off), tanpa direncanakan, saya dan keluarga dihadapkan dengan sebuah situasi dan hari ini lah saya menuliskan catatan refleksi ini.

Belum sampai dua bulan yang lalu, keluarga kami dihadapkan pada sebuah situasi yang cukup rumit. Dua anggota keluarga besar kami didiagnosa sakit yang sangat serius. Sontak kegiatan2 rutin kami yang sepertinya sudah berjalan mekanis dari hari ke hari terhenti. Keputusan-keputusan besar harus diambil dan hal-hal penting harus dilakukan. Detailnya tidak akan saya ceritakan di sini.

Tapi di sini-lah saya hari ini, di Singapura sejak hari Kamis lalu. Sudah ada yang menggariskan bahwa saya punya peran cukup besar dalam proses pengobatan adik saya. Untuk mendukung proses pengobatan adik saya itu, sejak dua minggu yang lalu saya harus berada di Singapura untuk beberapa hari, pulang sebentar ke Bandung dan kembali berangkat ke Singapura untuk proses lanjutannya.

Sendirian

Kamis lalu saya berangkat sendiri. Mungkin sekilas tidak ada yang spesial, banyak orang melakukannya. Tapi sejak dua hari yang lalu saya berhadapan dengan sebuah waktu jeda yang sangat langka buat saya. Tanpa direncanakan, saya mendapatkan kesempatan ini. Sangat langka saya berkesempatan pergi betul-betul sendiri. Mungkin ini lah yang disebutkan sebagai Me-Time.

Sejak melangkah ke bandara kemudian duduk di pesawat saya dikelilingi orang-orang yang baru saya jumpai – tidak saya kenal. Keluar dari bandara saya beralih ke stasiun MRT – kembali dikelilingi orang-orang belum pernah saya jumpai. Selama perjalanan di MRT, seperti banyak penumpang lainnya, saya mengeluarkan earphone untuk mengisi suasana dengan lagu-lagu favorit saya. Di jalan saya menyempatkan diri menghubungi beberapa saudara yang memang tinggal di Singapura – siapa tahu ada yang punya waktu luang untuk menemani saya ngobrol di beberapa hari ke depan. Sempat bikin janji bertemu, tapi kebanyakan sibuk dengan aktifitas mereka masing-masing. Saya baru dapat janji ketemu di awal minggu depan. Dari stasiun MRT, saya berjalan sendiri ke apartemen tempat saya menginap selama satu minggu ke depan. Saya masuk ke apartemen kosong di mana tidak ada orang yang bisa saya sapa ataupun ajak tersenyum. Sendirian, situasi yang luar biasa bagi saya.

Catatan penting :
Ini bukan situasi yang menyedihkan atau pikarunyaeun, tapi justru jadi momen-momen penting buat saya. 🙂

Sebentar saya beristirahat lalu saya berangkat naik bis kota ke Rumah Sakit untuk mengawali proses yang harus saya kerjakan selama seminggu ke depan. Setelah makan siang, saya kembali ke apartemen dan mulai merencanakan apa yang akan saya lakukan di hari-hari ke depan. Tidak banyak yang bisa dilakukan, karena kondisi badan akan terdampak dengan apa yang harus saya lakukan. Dokter bilang, “get plenty of rests”.
Kontak dengan keluarga dilakukan lewat WA. Thanks to internet and gadgets. Tapi intinya ya saya sendirian, di ruang apartemen yang besar dan dingin (omong-omong AC-nya memang dingin banget).

Kenapa momen ini jadi penting, inilah waktu jeda buat saya. Di mana saya berkesempatan betul-betul mengambil jarak dari segala rutinitas yang sehari-hari saya lakukan. Saat kita sendiri, betul-betul sendiri, di luar kesibukan kita sehari-hari, hening bisa kita rasakan. Tidak ada jadwal rutin yang harus dikejar, tidak ada siapapun yang mengingatkan harus ini harus itu… Lepas dari interaksi di tempat kerja, juga di rumah.
Betul-betul lepas dari rutinitas sehari-hari yang selama ini saya lakukan.

Sangat terasa, momen ini jadi luar biasa berharga buat saya.

Saat kita sendiri, kita bisa berdialog dengan diri kita sendiri. Saat segala sesuatu hening, kita bisa mendengarkan segala sesuatu yang tidak terdengar atau hanya lirih terdengar karena segala kesibukan yang ada.

listensilent.jpg

Momen Refleksi

Refleksi tentang ini mulai muncul saat kemarin pagi saya sarapan roti di pelataran sebuah mall, persis di seberang Rumah Sakit yang harus saya datangi. Yang teramati adalah bayangan gedung rumah sakit di atas riak air kolam di depan meja yang saya tempati.

img_1511487349753-374598926.jpg

Sepanjang saya duduk di depan kolam tersebut, bayangan yang muncul memang terus berubah – bergantung pada angin yang bertiup. Kadang bayangan tampak jelas, kadang saya tidak bisa mengenali apa yang muncul di sana. Begitulah kehidupan kita juga, saat kita terlalu sibuk, hidup terlalu gaduh, sulit kita mengenali seperti apa hidup kita sebenarnya. Apa bisikan nurani kita untuk hidup kita.

Dalam situasi ini, saya jadi punya waktu merefleksikan lebih jauh apa makna relasi sebuah keluarga dan memandang dengan cara berbeda hal-hal yang selama ini bergulir begitu saja… Adanya anggota keluarga yang sakit keras adalah sebuah pertanda buat saya. Waktu jeda ini membuat saya merefleksikan lebih mendalam tentang relasi saya dengan orangtua juga dengan adik-adik saya – tentunya juga tentang relasi dengan istri dan anak-anak saya. Papa dan mama sudah melampaui titik usia 3/4 abad. Situasi keluarga yang muncul saat ini jadi menyentil saya bahwa mereka sudah tidak lagi semestinya pusing dengan situasi anak-anaknya. Momen ini seperti mengingatkan saya tentang sesuatu yang jangan-jangan terlewat dari perhatian saya. Jangan-jangan, saya atau kita anak-anaknya tidak memberikan perhatian yang semestinya buat mereka (taking things for granted). Semoga dengan situasi keluarga ini, kami semua anak-anaknya punya refleksi tersendiri dalam diri masing-masing. Bagaimanapun segala sesuatu terjadi karena sebuah alasan.

Dalam kesempatan ini tidak bisa dihindarkan saya juga merefleksikan apa yang saya kerjakan selama ini. Secara khusus Rumah Belajar Semi Palar yang tanpa terasa sudah dirintis sejak 13 tahun yang lalu. Di hari-hari ini. lewat grup2 WA Komunitas Orangtua, di grup Kakak Smipa, di grup Tim Operasional saya hanya berusaha mengikuti – mengamati tanpa merespon apa yang bergulir dan saat ini hidup dalam dinamika Rumah Belajar Semi Palar. Semua bergulir baik-baik saja – walau tanpa direncanakan, saya harus meninggalkan Semi Palar. Pertanda Semi Palar memang sudah bergulir – sebagian dari kita yang hadir di sana sudah tahu apa yang harus dikerjakan. Masing-masing sudah tahu langkah-langkah yang harus diambil. Ke depan kita tinggal perlu memastikan apakah semua masih melangkah ke arah yang sama.

Di waktu-waktu belakangan ini saya mulai berpikir bagaimana saya perlu belajar melepas Semi Palar dan mengestafetkannya ke keluarga kedua saya di Semi Palar ini. Semi Palar hadir di antara kita – mudah-mudahan karena semesta memang menghendakinya demikian. Walaupun beberapa di antara kami yang merintisnya, Semi Palar perlu jadi milik bersama, dijaga dan dihidupkan bersama-sama. Di sisi saya sebagai pribadi saya sendiri punya motivasi pribadi yang sangat besar – untuk memfasilitasi anak saya (yang bungsu) mendapatkan proses belajar yang lebih bermakna. Hari ini dia sudah berada di penghujung prosesnya – dan sepertinya saya berhadapan dengan titik proses dan tahapan yang berbeda hari ini.

Tapi toh, kita semua selain punya pekerjaan dan ‘tugas-tugas hidup kita’, kita punya keluarga. Kita punya orangtua dan sebagian kita juga punya anak-anak kita. Semua adalah bagian dari hidup kita yang perlu kita jaga, sentuh dalam keseimbangan… Di Semi Palar kita belajar menempatkan semuanya secara baik, pas dan seimbang. Holistik. Ternyata keseimbangan hidup ini juga yang menjadikan kita sehat jasmani dan rohani. Badan yang mau sehat secara fisik, perlu baik juga dalam hal emosi dan spiritualnya…

Buat saya, yang sejujurnya masih mengganggu adalah pemikiran2 saya apakah kakak-kakak di Smipa dan orangtua siap? Apakah Spirit Semi Palar sudah cukup kuat tumbuh – mengakar di semua yang sehari-hari ikut menghidupinya? Pertanyaan itu memang sering muncul dan keraguan juga kerap menghalangi. Bagaimanapun ke depan saya perlu belajar melepas juga, jangan-jangan berbagai kekhawatiran itu adalah bentuk-bentuk keterikatan saya terhadap Semi Palar – yang sebetulnya sudah saya yakini perlu jadi milik bersama.

Sebagian besar pertanyaan masih berupa pertanyaan, tapi setidaknya waktu jeda ini memberikan kesempatan buat saya untuk berhenti sejenak dan menelaah, kemana langkah-langkah selanjutnya perlu diambil. Supaya hidup tidak jadi mekanistik, hidup dihayati lebih mendalam dan dijalankan ke mana nurani memberi isyarat bagi hidup kita. Mudah-mudahan saya bisa menemukan arahnya dan melangkah ke sana.

 

*buat teman-teman yang sempat membaca posting ini, semoga ikut jadi bahan refleksi juga buat kita semua. Hatur nuhun.

 

One thought on “masuk ke dalam waktu jeda

  1. Kita lahir tanpa memiliki apa-apa, kelak meninggal pun tanpa apa-apa.

    Tapi tentu sayang sekali jika meninggalkan dunia tanpa kesan dan manfaat.

    Semi Palar, tentunya akan selalu menjadi warisan Kak Andy.

    Kehidupan memang dahsyat! Semoga Kak Andy dapat terus memberi kesan dan manfaat.

    Liked by 1 person

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s