Kemarin saya dan kakak-kakak guru Semi Palar mendapat kesempatan langka untuk berjumpa salah seorang pejuang pendidikan, Butet Manurung. Rasanya banyak orang cukup tahu siapa dia, tapi berjumpa langsung dan mendengar pengalamannya jadi sesuatu yang ditunggu-tunggu juga. Acara bedah buku ini diselenggarakan di Gedung Indonesia Menggugat. Tempat yang jadi pas saat kita memang sedang menggali hal-hal apa yang kita bisa lakukan untuk Indonesia, seperti apa yang sedang dilakukan Butet dan kawan-kawannya.
Ada beberapa hal yang dikisahkan, ditangkap dan segera melekat dalam ingatan. Yang pertama adalah bahwa Butet harus tinggal di rimba sekitar 8 bulan sebelum masyarakat Rimba menerimanya ke dalam lingkaran kehidupan mereka – dan memberi ruang bagi Butet untuk berbagi pengetahuan ke anak-anak rimba di sana. Kisah yang teringat juga adalah bagaimana anak-anak Rimba lari ketakutan saat Butet mengeluarkan alat tulisnya… Ternyata pensil atau bolpen adalah benda yang mengerikan bagi orang Rimba karena gara2 benda kecil itu, mereka bisa tetiba kehilangan tanah hutan yang sebelumnya jadi ruang kehidupan mereka. Alat yang digunakan untuk menanda-tangani surat perjanjian / penjualan – tanpa mereka bisa pahami apa yang tertulis di dalamnya. Yang mereka tahu, dari pemikiran masyarakat rimba yang sederhana adalah bahwa benda kecil itu mengakibatkan mereka kehilangan lahan.
Kisah lain yang paling berkesan adalah tentang kepemilikian. Butet berkisah tentang satu anak Rimba yang bertanya kepadanya kenapa orang kota harus punya satu lemari pakaian, sementara bagi mereka dua potong baju sudah cukup. Satu dipakai sementara satu dicuci… Begitu pemikiran mereka… Pemikiran yang apabila direfleksikan menggambarkan betapa masyarakat kota kehidupannya sangat materialistik – berbeda dengan masyarakat Rimba yang kehidupannya masih sangat berjarak dari segala aspek kebendaan.
Soal dia sosok yang luar biasa, itu sudah pasti, dan kami semua hadir dengan maksud untuk belajar dari Butet. Diri dan pengalamannya luar biasa karena sulit sekali menemukan sosok-sosok yang seperti Butet. Di samping itu, saya berharap bisa memperoleh bahan refleksi terhadap apa yang sedang saya coba dan guru-guru lakukan di Semi Palar.
Dan memang itulah yang saya dapatkan. Dari tayangan slide-show, cerita-cerita pengalamannya yang menarik, terbaca betul dedikasinya untuk anak-anak di pedalaman sana. Membantu mereka untuk survive saat bersentuhan dengan kehidupan dunia yang lebih modern – walaupun notabene belum tentu lebih berbudaya. Kalau sekolah (pendidikan) itu untuk kehidupan, tentunya tema ‘survival’ adalah tepat di manapun pendidikan diselenggarakan. Hal itu baru saya sadari kemudian setelah perjumpaan ini.
Terima kasih untuk Butet, kawan-kawan di Komunitas Sokola untuk inspirasinya. Semoga Tuhan terus memberikan kekuatan dan ketulusan untuk karya-karya dan dedikasinya.
butet dan bukunya Sokola Rimba.
www.sokola.org