Sudah lama tidak menulis di sini… Di awal pandemi saya lebih banyak menulis di Ririungan Semi Palar. Platform media sosial untuk Rumah Belajar Semi Palar.
Setelah PSBB yang pertama di awal-awal pandemi, saya banyak mendengarkan Sadhguru (klik untuk blogpostnya) melalui kanal Youtubenya. Satu hal sangat menarik perhatian saya dan sampai hari ini masih mengusik pemikiran saya adalah tentang judul di atas ini, tentang human being… Kenapa judulnya dalam bahasa Inggris, alasannya adalah karena saya masih mencari2 padanan katanya dalam Bahasa Indonesia.
Sejauh ini lewat beberapa obrolan, termasuk dengan guru saya kang Wawan Husin, saya menemukan istilah Insan Manusia. Dalam diskusi saya dengan guru2 Semi Palar saya menggunakan istilah Manusia Seutuhnya… merujuk ke konsep Pendidikan Holistik.
Sadhguru bilang. Pandemi ini akan membuat kita bisa melihat manusia manusia apa adanya. Manusia yang sekedar makhluk (creature) ataupun atau insan (being). Buat saya ini sangat menarik… Lebih menarik lagi mengamati dinamika masyarakat di sekitar kita bahkan di seluruh dunia setelah sekian lama berada dalam situasi pandemi. Kenapa ada negara2 yang berhasil menekan angka penularan COVID dan banyak juga bahkan di negara maju yang gagal menghentikan penyebaran COVID, banyak statistik dengan jelas menggambarkan itu.
Dilahirkan sebagai manusia, satu di antara sekian banyak spesies makhluk hidup di dunia ternyata tidak serta merta menjadikan kita seorang insan manusia. Ada proses yang harus dijalani agar bisa bertransformasi dari sekedar makhluk menjadi seorang insan. Semua makhluk punya siklus hidup yang sama… dilahirkan, makan dan minum untuk bertumbuh kembang, menjadi besar, berkembang biak, menjadi tua dan mati. Begitu seterusnya.
Hanya satu pembedanya, bahwa insan manusia (human being) bisa melakukan segala sesuatunya dengan berdasarkan kesadaran.
Lalu ada apa di spektrum lain kesadaran? Secara umum lawan kata kesadaran adalah kompulsifitas – di mana manusia melakukan aktivitasnya tanpa didasarkan pemikiran, kesadaran akan dampak dari berbagai sikap dan tindakannya, refleksi dan perenungan. Ini adalah perbedaan mendasar antara makhluk dan insan.
Manusia dianugerahi kapasitas berpikir melalui volume otak yang sangat besar. Secara evolutif otak manusia paling canggih dibandingkan spesies lainnya. Manusia punya 3 lapisan otak termasuk otak depan yang membungkus otak tengah dan otak primitifnya. Kemampuan berpikirnya sangat besar. Karenanya peradaban manusia bisa berkembang sejauh ini lewat ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tapi kita tahu juga manusia baru memanfaatkan 5% saja dari kapasitas otaknya. Karenanya mungkin kita bisa juga menalar kenapa perkembangan peradaban membawa begitu banyak kerusakan bagi makhluk hidup lain dan planet tempat tinggal kita… Karena kepandaian manusia tidak diimbangi oleh berkembangnya kesadaran, kita bisa paham kenapa manusia modern masih terjebak dalam berbagai perilaku primitif seperti perang, terorisme, mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya… haus kekuasaan, saling menyingkirkan – bahkan atas nama agama… Manusia juga satu satunya spesies yang mengotori planet tempat hidupnya dengan sampah dan tanpa henti mengeruk bumi dan menghancurkan hutan yang menjadi sumber oksigen untuk kebutuhan hidupnya sendiri…
Tidak ada makhluk hidup lain yang sedestruktif spesies manusia… kita-kita ini… Tampaknya otak primitif manusia masih bekerja jauh lebih dominan daripada otak tengah dan otak depannya…
Bahkan saat pandemi global di mana seluruh dunia terdampak dengan jutaan kematian melanda dan belum ada tanda2 akan berakhir, manusia tampaknya belum juga sadar. Entah apa istilahnya… cuek, ga peduli, arogan, itu adalah gambaran tingkat kesadaran manusia… (Mengenai kesadaran, mudah-mudahan bisa saya sambung di dalam tulisan berikutnya).
Pertanyaan besar selanjutnya adalah terkait judul tulisan ini… bagaimana caranya bertransformasi menjadi insan manusia, menjadi manusia yang berkesadaran, becoming human being…
Saat ini saya baru menemukan satu kesimpulan bahwa pendidikan punya peran besar di dalamnya. Pendidikan dalam arti luas di dalam keluarga dan di masyarakat. Manusia-manusia berkesadaran hanya bisa ditumbuhkan di tengah lingkungan yang berkesadaran juga.

Gambar di atas ini sebetulnya menarik bahwa ajaran luhur masyarakat Nusantara sudah memahami betul dimensi kesadaran manusia dalam proses transformasi menjadi insan manusia. Entah kemana konsep-konsep yang luar biasa penting ini hilang. Di sisi lain saat ini kita tahu apa yang diajarkan oleh sistem pendidikan yang ada… yang kita alami dan anak cucu kita hadapi.
Nyaris tidak ada hal-hal yang menyentuh dimensi kedirian seorang manusia yang dijadikan konten pendidikan baik di rumah maupun di sekolah, di pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi sampai seseorang bergelar doktor sekalipun…
Saya kira ini PeEr besar kita bersama kalau kita ingin masa depan yang lebih baik bagi generasi anak cucu kita. Pendidikan harus juga bertransformasi menjadi pendidikan yang berkesadaran.

Pandemi ini sudah mengingatkan kita semua tentang ketidak-seimbangan – kalau tidak ingin menyebut kekacauan – yang umat manusia hasilkan di atas planet bumi – bahkan di alam semesta di mana segala sesuatunya serba terkoneksi…
Pertanyaannya dengan kesadaran yang sangat tipis, apakah kita umat manusia akan tergugah?
Bandung, 6 Desember 2020