Titik Balik Peradaban: sebuah catatan

wp-1484490393622.jpgSalah satu buku yang mengubah pemahaman saya secara mendasar mengenai banyak hal adalah buku karya Fritjof Capra* yang berjudul The Turning Point : Science, Society and the Rising Culture. Terjemahan Bahasa Indonesianya berjudul Titik Balik Peradaban.

Capra menuliskan bagaimana seorang ilmuwan Newton dan seorang filsuf Descartes, 300 tahun yang lalu menuliskan pemikiran-pemikirannya dan sekarang menjadi dasar pola pikir (paradigma) dari nyaris segala sesuatu yang ada di alam pemikiran manusia modern. Tokoh-tokoh besar ini berpikir bahwa segala sesuatu di alam semesta ini adalah ibarat sebuah mesin. Descartes yang pada saat itu sangat terpesona oleh kerja mekanikal mesin jam mengibaratkan segala sesuatu di alam semesta ini adalah seperti mesin jam, dengan pegas, roda gigi, bandul, engkol dan lain sebagainya. Manusia yang sehat adalah seperti jam yang dibuat dengan baik, dan orang yang sakit seperti mesin jam yang tidak dibuat dengan baik.

Pemikiran Newton juga memperkuat hal tersebut, bahwa kalau manusia ingin memahami tentang jantung, maka untuk mempelajarinya, jantung manusia diangkat keluar dari tubuhnya dan dapat dipelajari secara terpisah dari tubuh manusia itu. Seperti halnya saat ada mesin yang rusak, maka yang penting dilakukan adalah mengidentifikasi komponen yang rusak dan menggantinya dengan komponen yang baru atau yang baik. Pemikiran saintifik di era Newton juga menyebutkan bahwa kalau sesuatu tidak bisa dibuktikan secara empirik, maka secara ilmiah hal tersebut tidak terbukti / tidak ada.

Capra menyebut cara berpikir semacam ini (Newtonian-Cartesian paradigm) sebagai cara berpikir mekanistik (Mechanical Thinking). Tanpa disadari hampir segala hal yang dilakukan manusia modern berpijak pada cara pandang yang mekanistik. Contoh sederhananya, sistem pendidikan kita dikotak-kotak. Di universitas, kita mengenal fakultas dan kemudian jurusan. Bidang ilmu yang mempelajari tentang kesehatan jadi contoh menarik, karena bahkan secara fakultas, ilmu yang mempelajari tentang fisiologi adalah sama sekali terpisah dengan ilmu psikologi. Padahal sekarang kita tahu bahwa banyak penyakit muncul karena stress berlebihan. Gejala / kerusakan fisiologis muncul karena gangguan psikologis. Lalu bagaimana ilmu kedokteran bisa menyembuhkannya saat kedua bidang keilmuan tersebut didalami secara terpisah.

Di ruang kelas, pelajaran-pelajaran dipelajari secara terpisah di dalam kotak-kotaknya masing-masing. Matematika terpisah dari IPA, dan tidak berhubungan dengan Bahasa atau Ilmu Sosial. Kreatifitas tidak dipandang ada hubungannya dengan matematika. Agama dan Sains adalah sesuatu yang ga nyambung. Karenanya anak-anak di sekolah tidak pernah menghubungkan bahwa tanaman jagung yang bijinya berkeping satu, berakar serabut dan daunnya menyirip adalah pada dasarnya ciptaan Tuhan Sang Maha Pencipta. Anak-anak di kelas hanya terbatas menghafalkan bahwa di galaksi Bima Sakti ada 8 buah planet, tapi lupa mengkontemplasikan betapa jembarnya alam semesta dan betapa kecilnya kita manusia di hadapan segala ciptaanNya…

Cara berpikir seperti inilah yang membuat manusia memandang dirinya terpisah dengan alam, sains dan teknologi dimanfaatkan untuk mengeksploitasi alam, karena manusia merasa dirinya bukan bagian dari alam – seperti yang digambarkan di bawah ini. Tidak heran akhirnya manusia yang saat ini jumlahnya miliaran mendominasi planet bumi dan menyebabkan punahnya begitu banyak spesies-spesies lain dan meninggalkan kerusakan di nyaris seluruh bagian muka bumi karena ‘kecerdasannya’ (dan keserakahannya). Itulah kita seperti yang digambarkan di sebelah kiri di gambar di bawah ini.

ego vs. eco.jpg

Setelah bertahun-tahun berusaha belajar tentang pendidikan holistik dan pola pikir holistik (Holistic Thinking), Desember lalu di jeda antar semester saya menjumpai bahwa Capra mengemas pemikiran-pemikiran dalam bukunya ke dalam sebuah filem. Filem ini bertajuk Mindwalk. Tautannya ada di bawah ini, saya pilihkan yang memiliki subtitle di bawahnya agar dapat lebih mudah diikuti – walaupun oleh pengunggahnya filem ini dibagi ke dalam 9 segmen.

.

Filem ini dibuat tahun 1990, tapi saat menyaksikan filemnya, saya merasa betapa pemikiran Capra semakin ke sini semakin relevan. Berpikir holistik membantu kita memahami kenapa situasi peradaban semakin kacau. Lebih jauh, kita perlu berpikir secara holistik, sistemik untuk menemukan solusi terhadap segala permasalahan yang ada. Seperti ungkapan di bawah ini :

We cannot solve our problems with the same level of thinking when we created them.

~ Albert Einstein

saya percaya pandangan-pandangan Capra benar adanya. Kita perlu cara berpikir yang baru untuk mengatasi begitu banyak permasalahan yang kita hadapi sekarang ini. Pemikiran-pemikiran Newton dan Descartes mungkin baik pada jamannya – 300 sekian tahun yang lalu, tapi saat ini kita membutuhkan cara pandang baru memandang segala sesuatu. Kita sudah tidak bisa lagi memandang segala sesuatu secara terpisah atau parsial ataupun berpikir secara mekanistik, karena faktanya tatanan realitas di alam semesta ini jauh lebih kompleks dari yang dulu kita pahami. Cara pandang yang baru ini disebut Systems Thinking atau Holistic Thinking, yang memandang segala sesuatu secara keseluruhan, saling terkait dan tidak terpisahkan satu sama lain.

Saya kira filem di atas adalah titik yang baik untuk memulai. Saya sangat menyarankan rekan-rekan orangtua dan kakak2 guru di Smipa menonton filem tersebut ataupun membaca bukunya. Bagaimanapun kita sedang berusaha menerapkan banyak hal yang sejalan dengan pemikiran2 Capra atau tokoh-tokoh lain yang sejalan dalam pola pendidikan anak-anak di Semi Palar…

*Fritjof Capra adalah pendiri Center of Ecoliteracy di California dan staff pengajar dari Schumacher College di Dartington, UK.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s