Ini kali pertama saya menginjak tanah Borneo. Pulau terluas di Nusantara ini. Lewat kesempatan ini saya melihat langsung (dari dekat) seperti apa tanah Kalimantan itu dalam perjalanan darat dari Berau menuju ke Tanjung Batu. Itupun sebagian besar kami ada di dalam kendaraan roda empat
Dulu yang saya tahu, Kalimantan itu punya salah satu hutan hujan tropis terbesar di dunia – seperti juga yang ada di Amazon, juga di India dll. Banyak sungai2 besar mengalirinya. Di sana tumbuh pohon2 besar berusia ratusan tahun. Dalam bayangan saya Kalimantan itu hijau, megah, gelap dan berwibawa (untuk tidak menyebutnya menyeramkan) dengan rerimbunan pepohonan besarnya.
Di tahun-tahun belakangan ini saya mendengar sebagian besar hutan Kalimantan sudah hilang. Orangutan jadi binatang yang terancam kepunahan. Pohon-pohon besar sudah tidak lagi terlihat. Kayu-kayu keras yang dulu datang dari Kalimantan untuk bahan bangunan mulai sulit ditemui dan kalaupun ada harganya menjadi sangat mahal.
Penyebabnya ternyata uang. Kayu-kayu Kalimantan banyak ditebangi dan dijual – bahkan diekspor keluar negeri. Salah satu perusahaan kertas terbesar di Indonesia ada di Kalimantan. Dari mana bahan bakunya, tentunya dari rimba Kalimantan. Begitu juga dengan perusahaan kayu lapis. Kalimantan dengan segala kekayaannya dalam waktu singkat dirambah para kapitalis besar dan kecil. Setelah kayu, muncul perkebunan sawit. Dan belakangan yang sedang banyak dibicarakan adalah batu bara. Setelah hutan yang menutupi permukaan bumi Kalimantan hilang, para pemodal mulai melirik apa yang ada di bawah permukaan tanah Kalimantan. Kita tahu, di bawah hutan raya tentunya ada batu bara, kayu-kayu yang mati dan secara alamiah ditransformasikan menjadi batu bara selama proses jutaan tahun. Beberapa waktu lalu kita mendengar bencana nasional yang hadir lewat kebakaran hutan. Bekas-bekasnya saya lihat sendiri – dan ini sangat menyedihkan. Yang paling mengerikan adalah berita-berita bahwa kebakaran hutan tersebut disebabkan oleh manusia – kemudian dimunculkan sebagai sesuatu yang terjadi alamiah. Ah, soal ini saya ragu… Saya kira ini ulah manusia, dimotivasi keserakahan belaka…
Yang saya saksikan adalah pemandangan yang menyedihkan, setidaknya itu yang terlihat langsung dari perjalanan 2,5 jam dari Tanjung Redeb menuju Tanjung Batu. Sepenggal kecil perjalanan di atas Bumi Kalimantan Timur. Yang saya lihat jauh dari bayangan. Kata-kata itu yang kembali muncul di benak saya : menyedihkan (pathetic). Bumi Borneo di mata saya nampak seperti ksatria yang sedang dilucuti baju zirahnya dan dihilangkan tanda-tanda keperwiraannya tanpa daya. Ia hanya berdiri terdiam, pasrah… Kedigdayaannya memudar, auranya melemah, keperkasaannya menghilang… Menyedihkan.
Dari udara, pemandangan sama juga menyedihkan, di mana rimbunnya Hutan Hujan Kalimantan sudah banyak sekali hilang. Berubah jadi tanah telanjang karena dikupas manusia untuk mengambil batu bara di bawahnya. Kalaupun tidak untuk tambang batu bara, hutan hujan diubah jadi perkebunan Sawit. Sangat menyedihkan, miris. Sepertinya hijaunya hutan Kalimantan secara spontan menjadikan hijaunya mata manusia yang memandangnya. Ada banyak uang di sana…
Di sungai-sungai yang dilalui, saya melihat kapal-kapal tunda (tug boat) menghela tongkang berisikan ribuan kubik batu bara. Ya, Indonesia memang kaya, tapi begitu menyedihkan cara kita memandang dan mengelolanya… Manusia-manusia Indonesia lebih suka menggenggam lembaran-lembaran uang di tangannya daripada melihat hijau lestarinya alam Indonesia. Manusia Indonesia masih melihat bahwa alam Indonesia adalah milik mereka yang segera mampu memeras segala sumber daya / kekayaan yang terkandung di dalamnya. Perlu jutaan tahun untuk Bumi Kalimantan menumbuhkan pepohonan yang kemudian menyimpan keaneka-ragaman hayati. Sekarang dengan chainsaw dan excavator, dalam waktu singkat manusia meratakannya dengan tanah dan mengonversinya jadi lembaran uang – dengan hanya menyisakan kehancuran.
Memang masih tersisa petak-petak hutan di sini sana. Tapi saya yakin itu tidak akan lama, dengan cara pikir kita manusia seperti sekarang ini. Bagaimana mengubahnya, itu juga masih tanda tanya. Tanda tanya besar. Yang bisa saya lakukan saat ini – adalah baru dengan mencatatkannya di sini. Semoga bisa jadi catatan kesadaran kita bersama.