Catatan Pengantar :
Tulisan ini saya susun untuk teman2 satu angkatan SMA yang sedang menyusun buku untuk Reuni 30 tahun setelah kita semua lulus dari bangku SMA. Versi ini tidak jadi diserahkan karena terlalu panjang. Saya akhirnya membuat versi singkatnya. Tapi saya simpan di sini sebagai catatan pribadi.
Bagaimana Perjalanan Dimulai
Mungkin sebagian teman sempat tahu, saya kuliah di jurusan Arsitektur dan beberapa tahun mengawali profesi jadi arsitek – juga sempat merintis biro konsultasi dan pelaksanaan bangunan bersama teman-teman seperkuliahan. Lyn dulu kuliah di bidang Ekonomi, jurusan akuntansi tepatnya. Lalu setelah menikah kami berkesempatan studi lanjut ke Sydney selama 2 tahun – masih menekuni bidang yang sama. Lyn mengambil studi di jurusan Banking & Commerce dan saya melanjutkan belajar tentang Architectural Computing.
Akhir tahun 1996 kami kembali ke Bandung, sebulan setelah kelahiran putri kami pertama – Inka. Sekembalinya di Indonesia – beberapa bulan waktu berjalan dan Indonesia masuk masa krisis. Situasi memburuk terus sampai terjadinya tragedi Mei 1998. Waktu itu papa saya bilang, “Andy – kalau bukan GusDur yang jadi presiden, lebih baik sekeluarga kamu kembali ke Australia dan mencoba hidup di sana”. Gus Dur dengan demikian punya tempat tersendiri dalam perjalanan hidup kami. Ternyata Gus Dur akhirnya memimpin Indonesia dan membawa banyak perubahan bagi bangsa Indonesia. Perusahaan yang saya rintis bersama teman-teman harus tutup karena memang sepi proyek. Saya mendapat penghasilan dari sedikit-sedikit mengajar di Unpar juga tanpa disadari merupakan titik awal proses pindahnya jalan hidup kami ke jalur pendidikan. Jalan yg ditempuh atas dasar keresahan/kebingungan yang terasa sejak titik titik awal anak anak kami memasuki sistem pendidikan formal.
Tanpa direncanakan, ada cukup banyak hal yang memang kemudian mengarahkan arah perjalananan kami sampai ke titik ini. Salah satu penentu besarnya adalah Inka. Putri kami Inka (anak kami yang sulung) sejak ia lahir di tengah tengah kami terus membuat kami mengambil keputusan-keputusan besar. Umur 4 bulan ia harus menjalani operasi jantung (open heart surgery). Peristiwa itu membuat Lyn mengambil keputusan bahwa ia akan meninggalkan dunia kerja (dunia korporat) yang sudah dirintisnya sejak lulus kuliah. Lyn memutuskan untuk mengurus Inka di rumah. Kondisi Inka mengingatkan kami begitu besar nilai kehadiran seorang anak di tengah kami. Buat saya pribadi, di bawah sadar itu membuat saya berkomitmen untuk memberikan kebahagiaan untuk dia. Dan dalam prosesnya pemikiran tersebut ternyata mendorong saya untuk terus membuat keputusan- keputusan besar bahkan sampai saat ini, nyaris 20 tahun setelahnya.
Tidak ada peristiwa kebetulan. Everything happens for a reason. Salah satu buku yang pernah saya baca bilang kurang lebih begini: “Kalau ada situasi yang dirasakan seperti menghadapi satu penghalang, di titik itulah kita mesti merefleksi diri apakah situasi itu adalah pertanda kita perlu mengambil jalan yang berbeda.”
Peristiwa besar sesudahnya kami alami sejak Inka masuk jenjang Playgroup dan TK. Sebelum masuk SD, Inka sudah dua kali drop-out – mogok sekolah. Sebagai orangtua, tentunya ini sangat membingungkan. Ini jadi momen terbesar buat kami mulai betul-betul menaruh perhatian tentang pendidikan anak-anak, bukan sekedar menemukan sekolah buat mereka. Inka membuat kami berpikir mendalam tentang makna sekolah dan pendidikan. Titik ekstrim lainnya yang membuat kami berpikir adalah pengalaman saya sewaktu di Australia. Sewaktu kuliah, saya mencari tambahan penghasilan dan bekerja membantu dosen saya Jim Plume mengajar komputer ke kelas mahasiswa jurusan S1. Singkatnya di kelas saya, ada seorang mahasiswi di kelas saya yang berusia 69 tahun. Lengkapnya saya tuliskan di blog saya di bawah ini: https://aasutioso.wordpress.com. Ironi yang sangat besar bagi kami saat itu, berjumpa seorang Oma masih bersemangat kuliah sementara putri kami mogok sekolah sebelum menginjak jenjang SD…
Tentang Semi Palar
Dari situ proses berjalan dan hari ini saya dan Lyn sehari-harinya mengelola sebuah sekolah kecil yang kita sebut Rumah Belajar Semi Palar (www.semipalar.sch.id). Sekolah ini mulai dari jenjang KB (Kelompok Bermain), TK, SD, SMP dan SMA dengan jumlah murid total lebih dari 200 orang mulai dari jenjang terkecil hingga jenjang tertinggi. Sebuah sekolah kecil. Sebagai perbandingan, dulu saja waktu kita bersekolah di Santo Aloysius, satu angkatan jumlahnya sudah melampaui 200 orang.
Semi Palar sendiri kami cita-citakan menjadi tempat belajar yang lebih bermakna. Tidak sekedar menghafal dan mencari nilai. Sebuah sekolah yang kita kelola berdasarkan Konsep Pembelajaran Holistik. Holistik, makna sederhananya utuh, menyeluruh, tidak terkotak-kotak, dan dengan demikian kami berharap pembelajaran buat anak bisa lebih bermakna karena satu mata pelajaran dengan yang lain terkoneksi – tidak terkotak-kotak seperti yang selama ini dijalankan di sekolah-sekolah kita. Kemudian yang lebih penting adalah pembelajaran yang tidak banyak berjarak dengan kehidupan. Bagaimanapun, segala hal yang kita pelajari adalah untuk kehidupan kita – sekarang maupun kelak waktu dewasa.
Semi Palar sejak tahun 2006 sudah menerapkan pembelajaran tematik – metode pembelajaran yang saat ini jadi orientasi kurikulum Pemerintah melalui Kurikulum 2013. Singkat kata, kami sepakat betul (dengan segala kesulitan dan tantangannya), pembelajaran tematik – saat bisa digulirkan secara memadai akan jauh memberikan manfaat buat perkembangan anak-anak secara keseluruhan. Tidak hanya secara akademik – tapi juga dalam hal kreativitas, karakter, sikap, bahkan perkembangan spiritual anak-anak juga.
Terlepas dari Semi Palar, saat ini putra putri kami, Inka dan Rico sedang belajar seperti halnya anak-anak seusianya. Hanya bedanya Inka dan Rico saat ini seakan belajar di luar sistem pendidikan formal yang ada. Di bawah ini sedikit cerita tentang Inka dan Rico dengan proses belajarnya saat ini.
Tentang Inka
Setelah proses panjang, diskusi dan rangkaian obrolan, saat ini Inka memutuskan untuk tidak kuliah (baca : belajar di dalam sistem pendidikan formal). Di SMA-nya Inka sendiri lulus dengan predikat lulusan terbaik. Berbagai tawaran kuliah dengan bea siswa kami terima dari beberapa universitas swasta. Tapi dalam proses belajarnya Inka kami melihat Inka tidak menikmati. Di sini kami melihat kegagalan besar sebuah sistem pendidikan, di mana anak bisa memperoleh angka / prestasi tinggi tapi tidak menikmati / memaknai dunia keilmuannya itu sendiri. Di semester terakhirnya, saya bilang sama Inka:”Ka, kalau kamu bingung memilih kuliah ke mana, kamu ga mesti kuliah kok. Yang penting kamu ga berhenti belajar”. Dan akhirnya itu jadi pilihan dia. Saat ini dia sedang menekuni belajar ilustrasi. Awalnya dia belajar sendiri di waktu luangnya, sekarang Inka sedang belajar di sebuah tempat kursus ilustrasi kecil di Bandung.
Ini adalah keputusan besar yang kembali kami harus ambil terkait proses belajar Inka, sejak dulu dia mengalami mogok belajar di jenjang TK.
Sejauh ini kami melihat Inka sangat tekun dan bahagia dengan pilihannya itu, karya-karyanya banyak ia publikasikan lewat akun instagramnya: http://instagram.com/artinkas – yang saat ini sudah mendapatkan 10.000 + followers. 🙂
[update : karena akun instagram Inka yang lama dihack, bisa lihat akun yang baru di http://instagram.com/tinyspeckofstardust]
Tentang Rico
Rico, adiknya saat ini duduk di jenjang SMA Semi Palar. Rico juga jadi motivasi kami yang terbesar mewujudkan sekolah Semi Palar. Rico belajar di Semi Palar sejak jenjang TK-B. Sekarang, 11 tahun kemudian, ia masuk jenjang SMA di tahun ke duanya. SMA Semi Palar kami sebut KPB (Kelompok Petualang Belajar). Belajar dari pengalaman Inka di SMAnya, dengan kesadaran penuh kami merancang jenjang SMA Smipa di luar kurikulum Nasional. Kenapa namanya KPB, SMA Smipa juga tidak punya ruang kelas. Ruang kelasnya ada di masyarakat. Angkatan pertama KPB beranggotakan tujuh orang. Kisah-kisah KPB ada di kpb.semipalar.sch.id. Catatan petualangan Rico sendiri dia catatkan di blog pribadinya: ricosutioso.edublogs.org
Dari hari ke hari Rico dan teman-temannya di KPB berkolaborasi dengan berbagai komunitas di Bandung. Setelah setahun berpetualang, KPB sudah bekerja sama dengan WWF, Wanadri, Greeneration Indonesia, komunitas Passer, Bale Angklung Bandung, Galeri Semata. Belajar langsung dari aktivitas komunitas lewat kegiatan langsung di masyarakat. Di luar bangku sekolah, Rico dan teman-temannya belajar, dan tampaknya mereka belajar luar biasa banyak.
Di akhir tahun mereka membukukan catatan pengalaman belajar mereka ke dalam sebuah buku yang bertajuk “Bertumbuh Bersama Semesta”. Melihat proses mereka, saya merasa bahagia, dan mudah-mudahan kebahagiaan yang sama ada terasa buat masing-masing mereka juga.
Penutup
Buat saya dan Lyn ini proses yang sangat membahagiakan. Proses ini bagi kami adalah sebuah bentuk petualangan tersendiri. Mengenali anak-anak bertumbuh kembang, mendampingi para guru dan berjalan bersama rekan-rekan orangtua yang memercayakan proses belajar anak-anaknya di Semi Palar. Perjalanan sendiri masih panjang dan entah apa yang akan terjadi di masa depan karena perubahan terjadi begitu cepat.
Mudah-mudahan cerita ini bermanfaat buat teman-teman. Terima kasih sudah berkenan membaca cerita ini.