Ini adalah catatan kecil saya saat berkesempatan ditemani Mbak Tri berkeliling workshop Piranti Works di hari ke dua kunjungan saya ke Kandangan – Temanggung di pertengahan bulan Maret lalu.
Radio Kayu yang diberi nama Radio Magno adalah rancangan produk ikonik yang dihasilkan mas Singgih pada saat menyelesaikan studinya di Desain Produk ITB. Saya mengenal sekilas produk ini sudah cukup lama, karena nama Radio Magno adalah produk yang banyak dikenal setidaknya di kalangan para desainer.
Kembali ke desanya di Temanggung, mas Singgih mengeksplorasi beberapa produk lain sebelum akhirnya kembali mengembangkan beberapa varian dari workshop Radio Magno di Kandangan. Di desa tempat tinggalnya, Kandangan, mas Singgih bersama istrinya mbak Tri mengembangkan workshop untuk pengembangan dan produksi produk2 yang dinamakan Piranti Works. Saat ini Piranti Works inilah yang mengembangkan dan melaksanakan produksi untuk kedua jenis produk yaitu Radio Kayu dan Sepeda Bambu.
Sekilas Piranti Works
Sabtu pagi sekitar jam 10 saya dan Rico diantar mbak Tri untuk melihat-lihat proses produksi di Piranti Works. Mulai dari gudang bahan baku, ke berbagai tahapan proses kerja di tempat tersebut. Piranti Works memang bukan pabrik. Semua pekerjaan menggunakan tangan – dibantu alat-alat / teknologi sederhana (mesin, jig (dudukan), templates) yang memungkinkan para pekerja menghasilkan produk berkualitas tinggi. Produk Radio Magno dan variannya memang produk kerajinan tangan (handmade). Diproduksi dari bahan-bahan pilihan yang menjadikan rancangan mas Singgih yang estetikanya memang tinggi. Rico yang memang suka benda-benda yang dibuat dari kayu terlihat mengamati dengan seksama berbagai proses yang sempat kami lihat di sana. Mbak Tri – yang saat ini menjadi manajer produksi dengan detail menjelaskan kepada kami segala sesuatu yang berlangsung di sana.
Tim produksi yang bekerja di Piranti Works adalah anak-anak muda dari sekitar desa Kandangan. Mereka dilatih mulai dari dasar sampai mencapai keterampilan tertentu. Beberapa di antaranya ada yang sudah bekerja lebih dari 8 tahun di Piranti Works – dan sudah mencapai keterampilan tertentu. Beberapa produk memang punya tingkat kesulitan tinggi dan perlu jam terbang yang panjang untuk mencapainya. Hal ini juga memungkinkan Mas Singgih untuk memproduksi rancangan-rancangan desain dengan kompleksitas yang lebih tinggi dari produk-produk yang dikerjakan di tahap awal.
Berbagai Filosofi di Belakang Radio Magno
Beberapa hal sempat diceritakan mbak Tri terkait filosofi dan pemikiran-pemikiran di balik produk-produk Radio Magno. Di ruang duduk dipajang beberapa contoh produk yang dihasilkan Piranti Works. Ada set permainan (gasing, yoyo dll. yang dinamai Toys for the Soul). Ada juga perangkat stationery kantor seperti pisau pembuka surat, dispenser selotip, tempat pena, stapler dll. Terlihat juga jam meja, dan beberapa desain pengeras suara (loudspeaker). Tidak terlampau banyak memang, tapi mbak Tri menjelaskan bahwa memang mas Singgih membatasi jenis produk yang dihasilkannya. “Sudah terlalu banyak produk yang dihasilkan dan akhirnya mendorong perilaku konsumtif manusia yang berlebihan”, begitu sekilas penjelasan mbak Tri. Bagi saya ini luar biasa karena bertentangan dengan pemikiran yang umum berlaku terutama bagi mereka yang bekerja di bidang produk konsumsi.
Mbak Tri juga menjelaskan tentang sejarah logo dan nama magno yang dipilih untuk jadi identitas produk. Juga tentang sejarah dan proses panjang produk ini sampai ke kondisi yang sekarang.
Tapi saya bisa memahami bahwa Radio Magno dan Sepeda Bambu adalah bukan tujuan akhir dari segala sesuatu yang dilakukan Mas Singgih di sini. Apa dan bagaimananya lebih banyak saya ceritakan di tulisan sebelumnya mengenai Spedagi Movement. Selalu ada sesuatu yang berbeda saat sesuatu dihasilkan dari proses panjang dan pemikiran yang mendalam. Hal ini juga yang saya lihat ada di Radio Magno.
Dari Desa untuk Dunia
Sekilas tajuk di atas ini seperti yang berlebihan. Tapi hal inilah yang diikhtiarkan oleh mas Singgih dan timnya lewat berbagai kiprah mereka di desa Kandangan dan sekitarnya. Pertama-tama lewat Radio Kayu Magno kemudian lewat sepeda bambu Spedagi. Kehadiran mas Singgih di Kandangan ditujukan untuk membangunkan masyarakat akan potensi daerahnya. Pertama-tama lewat material lokal (yang berlimpah) dan tidak termanfaatkan maksimal oleh masyarakat kemudian oleh tenaga dan keterampilan masyarakat setempat. Sepertinya ini yang disebut mas Singgih sebagai gerakan Revitalisasi Pedesaan.
Kehadiran Piranti Works adalah sebentuk wadah interaksi – di mana gagasan-gagasan baru yang mendunia (dalam hal ini melalui desain produk) bisa diterjemahkan kembali dan memberikan nilai tambah yang berlipat ganda. Sentuhan gagasan dan ajakan keterlibatan Mas Singgih di desa Kandangan mampu merealisasikan gagasan di atas tadi : dari Desa untuk Dunia. Radio Magno, Sepeda Bambu Spedagi adalah produk-produk lokal desa Kandangan, material lokal, kerajinan tangan lokal hasil karya masyarakat Desa Kandangan yang bisa diterima masyarakat global.
Menerjemahkan Kembali Paradigma Kemajuan
Sepertinya ada yang perlu dipahami kembali tentang paradigma kemajuan yang selama ini kita pahami dan yakini. Selama ini kita terlalu meyakini bahwa apa yang disebut kemajuan adalah kemajuan secara fisikal. Orang desa yang pindah ke kota itu adalah mereka yang maju. Sebaliknya orang-orang berpendidikan tinggi mestinya berkiprah di kota besar dan bekerja di perusahaan multinasional. Orang-orang kuliahan itu mestinya canggih, kerja di gedung perkantoran berlantai banyak, naik mobil mewah dan mondar-mandir antara gedung satu dengan lainnya, antara kota besar satu dan lainnya, di negara satu dan lainnya. Jadi kalau mau maju, orang desa mari belajar dan pindah ke kota besar.
Lalu bagaimana dengan produksi pangan dan lainnya? Semua (seakan) juga harus dimodernisasi, dengan peralatan modern dan mesin. Lahan-lahan pertanian dan perkebunan dikuasai oleh perusahaan besar dan dikapitalisasi oleh penanam modal dan korporasi… Hal-hal tersebut perlu disadari hanya didasarkan pada motivasi ekonomi.
Di sisi lain kalau kita telaah, langkah-langkah itu – membawa begitu banyak dampak buruk bagi lingkungan hidup, dinamika sosial budaya masyarakat dan lain sebagainya.
Apa yang dilakukan mas Singgih di desa Kandangan memunculkan pembuktian yang berbeda seputar paradigma kemajuan.
Kemajuan yang bukan sifatnya material, tapi lebih ke pola pikir dan sikap mental.
Pola pikir kemajuan yang dibawa ke masyarakat desa, yang tidak mendorong masyarakat untuk pindah ke kota – tapi justru merasa bangga dengan segala potensi lokal yang ada di desa. Toh masyarakat desa dengan pendekatan yang tepat bisa
mengglobal juga seperti dibuktikan oleh berbagai proyek dan gerakan yang diinisiasi mas Singgih dan timnya. Lagipula kenapa ingin pindah ke kota – saat orang2 kota bahkan banyak orang-orang dari luar negeri datang berkunjung ke desa mereka di Kandangan?
Penutup
Kunjungan saya ke tempat mas Singgih di desa Kandangan dan secara singkat mengikuti hal-hal yang dikerjakannya bersama warga masyarakat setempat membuka pemahaman saya tentang peranan yang semestinya dijalankan oleh kita – manusia-manusia yang ‘katanya sudah terdidik’. Memberdayakan masyarakat, salah satunya masyarakat pedesaan. Desa, seperti yang diungkapkan mas Singgih adalah masa depan dunia yang tertinggal di masa lalu.
Tulisan ini adalah bagian 3 dari 3 tulisan
Bagian 1 : Perjalanan ke Desa Kandangan
Bagian 2 : Kisah dari Kandangan : Spedagi Movement
Bagian 3 : Kisah dari Kandangan : Dari Desa untuk Dunia
Tulisan terkait : (ingin) pindah ke desa
Pingback: memetakan perjalanan ke depan | perjalanan si 'nday'