Belakangan ini, setidaknya bagi saya pribadi tagar #bahagiaitusederhana semakin sering muncul. Buat saya semakin kuat terasa dan semakin diyakini. Karenanya saya sampai menuliskan blogpost [ingin] pindah ke desa – selepas saya dan Rico mampir ke Desa Kandangan, Temanggung di pertengahan bulan Maret lalu.
Bagi banyak orang tentunya ini sesuatu yang gak masuk akal. Ah, si Andy ini ngaco, mungkin begitu responnya selepas mendengar ungkapan atau membaca posting saya tadi. Tapi buat saya ini bukan sesuatu yang sifatnya impulsif, respon spontan atau ide-ide gila yang sering bermunculan di benak saya.
Saya banyak merefleksikan gagasan / angan-angan saya ini. Saya juga kerap melontarkannya kepada teman-teman dekat yang sedang juga banyak jadi teman diskusi. Sekedar mencari tahu bagaimana tanggapan teman-teman tentang gagasan yang tidak lazim ini. Ternyata saya tidak sendirian. Bahkan seorang rekan orangtua manggut-manggut dan mencuri kata-kata dari mulut saya – steal the word right out of my mouth, istilahnya dalam Bahasa Inggris. Katanya,”tinggal di kota Bandung sudah sangat absurd’. Spontan saya tersenyum mendengarnya. Bukan hanya satu orang, ternyata ada 4-5 rekan orangtua yang punya pemikiran serupa. Di sisi lain, ada beberapa orang kakak juga yang mengungkapkan keinginannya untuk pindah ke desa. Menarik memang. Intinya saya tidak sendiri… Kalaupun ada yang menganggap ini ide gila, minimal saya ga gila sendirian… 🙂
Di grup WhatsApp Smipa Solar Project – di mana kami menggulirkan proyek instalasi Solar Panel, diskusi kerap bergeser ke wacana hidup di pedesaan. Belum tahu bagaimana kelanjutannya. Apakah ini akan sekedar jadi eforia dari sebuah gagasan aneh atau bisa jadi juga sebuah langkah lanjut ke arah yang semestinya bisa melengkapi proses pendidikan holistik yang sejak awal diusung oleh Rumah Belajar Semi Palar. Toh gagasan mendasarnya, kembali ke Kehidupan yang Berkesadaran sudah dilontarkan di forum Taki-taki (pertemuan awal tahun orangtua Smipa) sejak setahun lalu.
Bagaimanapun, pertanyaannya, apakah betul hidup sederhana itu lebih membahagiakan bagi manusia? Sewaktu kembali ke koleksi quotes saya, saya menemukan quote di atas ini.
One of the first condition of happiness is that the link between man and nature shall not be broken.
Aha, sepertinya itulah salah satu jawabannya. Manusia adalah bagian dari alam. Dan semakin modern kehidupan – seperti kehidupan di kota, koneksi manusia dengan alam (dan manusia lain) semakin jauh. Manusia modern terdiskoneksi – teralienasi dari alamnya, dari sumber kehidupannya. Segala upaya yang dilakukan manusia untuk tetap dekat dengan alam : memelihara kebun, memiliki binatang peliharaan hanyalah upaya manusia untuk sekedar mengobati kerinduannya terhadap alam kehidupannya. Faktanya, manusia tetap hidup dalam kotak yang dibuatnya sendiri, di dalam dinding tempat tinggalnya, di dalam pagar rumahnya, di dalam batas-batas fisik yang dibangunnya yang memisahkan antara kehidupan manusia dengan alamnya.
Saat ini manusia modern terus berusaha memenuhi kebutuhannya dengan segala sesuatu yang artifisial. Air dibeli dalam kemasan, udara yang disaring melalui mesin, meja kantor yang dihiasi tanaman plastik dalam pot atau duduk di atas rumput plastik yang menghijau sepanjang tahun… Kesemuanya benda-benda mati yang tidak memberikan enerji kehidupan bagi manusia. Manusia yang sebetulnya terus mencari – haus akan kehadiran hal-hal tersebut. Kebutuhan kita, kerinduan kita akan kebahagiaan sifatnya spiritual, tapi kehidupan modern akan terus menyajikan pilihan-pilihan jawaban lewat segala sesuatu yang material – fisikal. Karenanya dahaga tersebut akan terus ada dan tidak akan pernah sirna.
Padahal segala sesuatu yang masih serba alami masih serba murni ada saat kita berani keluar dari kotak kehidupan kita di kota. Kehidupan di pedesaan yang masih alamiah, kendati bersahaja – masih menyajikan itu semua. Kalau kita meyakini dan menghayati bahwa hidup yang utuh, holistik akan menghadirkan kebahagiaan, mestinya kita berani membiarkan nurani kita yang memilihkan jawabannya untuk kemudian mengambil langkah nyata – kalau kita hal-hal itu yang kita cari selama ini. Kenapa nurani? Logika-logika kita sudah kelewat banyak terkontaminasi segala macam teori yang sudah membawa kita tersesat melalui apa yang dijanjikan melalui jargon-jargon modernitas dan kemajuan. Saya pribadi meyakini bahwa pencarian manusia lewat hal-hal material tidak akan membawakan kebahagiaan sejati – karena kebahagiaan sejati bisa hadir lewat sisi spiritual manusia – terkoneksinya manusia dengan hal-hal yang utama dalam hidup.
Tidak ada peristiwa kebetulan. Saya merasa beruntung saya dilahirkan di keluarga yang memberi saya banyak pengalaman bersentuhan dengan alam. Ayah saya senang berburu – sewaktu kecil beberapa kali saya diajak melewatkan pengalaman di hutan, hidup di rumah warga2 di pedesaan di Pamengpeuk – Garut Selatan. Saya juga ikut gerakan kePramukaan yang mendekatkan saya dengan kehidupan di alam terbuka. Di usia SD dan SMP, saya menghabiskan waktu luang saya di sawah dan memanjat pohon. Sampai waktu kuliah, saya gemar berkemah bersama teman-teman – di sela-sela kesibukan belajar. Sampai hari ini, tidur beralaskan rumput dan beratapkan langit adalah sesuatu yang jadi kemewahan bagi saya. Sepertinya pengalaman-pengalaman itu yang membangun koneksi saya yang cukup kuat dengan alam – dan menjadi bagian pemahaman dan penghayatan saya terhadap kehidupan manusia yang utuh.
Di bawah ini sebuah filem dokumenter tentang sebuah komunitas yang beralih ke hidup bersahaja di Australia. Kalau kita telaah – dengan hati terbuka – kita bisa melihat betapa mereka bukan menafikkan teknologi, kemajuan atau modernitas, tapi menempatkannya secara bijak, seimbang dengan kehidupan yang berkesadaran. Kehidupan yang terkoneksi dengan alam, dengan lingkungan sosialnya, yang kemudian bisa memberikan makna lebih mendalam terhadap kehidupan mereka. #bahagia itu sederhana. 🙂
Saya mencatatkan blogpost ini karena saya merasakan ini bagian penting dari proses yang saya alami. Mungkin di beberapa tahun ke depan titik ini jadi titik yang menarik untuk ditelaah kembali ke belakang. Mari kita lihat bagaimana guliran perjalanannya ke depan.