Bagi saya, perjalanan hidup terutama sejak tahun 98an, paska Krisis Moneter menarik ditelusuri, dirangkai dan ditemukan maknanya. Di tahun-tahun tersebut saya memilih ‘pindah jalur’ dari bidang Arsitektur yang dulu ditekuni ke jalur pendidikan. Banyak sekali untaian peristiwa yang kemudian dialami dan saat kemudian terus dirangkai terbaca menjadi proses yang bagi saya menakjubkan – kadang bahkan juga terasa menakutkan.
“Tidak ada peristiwa kebetulan”; “Segala sesuatu terjadi karena sebuah alasan”; “Everything happens for a reason”. Kalimat-kalimat tersebut semakin saya yakini hari demi hari. Kalimat-kalimat yang saya temukan di beberapa buku yang saya baca, saya alami sendiri secara nyata. Buku-buku tersebut seakan ditulis untuk saya. Hal-hal semacam ini yang buat saya jadi merasa agak menakutkan. Hidup seakan sudah dipetakan buat saya. Sebaliknya saya merasa tidak mengikuti skenario apapun. Hidup saya mengalir, saya merespon hal-hal dan peristiwa yang terjadi (unfolding) hari demi hari. Saya mengambil keputusan-keputusan dan kadang sangat mengherankan bahwa keputusan-keputusan saya ternyata menghadirkan jawaban atas kebingungan2 yang sebelumnya saya temukan dalam perjalanan saya.
Minggu ini kembali saya menemukan peristiwa yang sama – semacam mengulang peristiwa 3 tahun yang lalu saat saya merasa perlu mengambil sebuah keputusan besar. Untuk memberikan konteks cerita, nyaris sejak 20 tahun yang lalu, hidup saya memang pindah ke jalur pendidikan. Tahun 2004 saya bersama teman-teman mendirikan Rumah Belajar Semi Palar dan sampai hari ini aktivitas saya adalah mengelola Rumah Belajar Semi Palar. Sekolah yang dimulai di jenjang TK dan saat ini sudah menapak ke jenjang setara SMA.
3 Tahun ke Belakang
Tiga tahun yang lalu, saya dan teman-teman di Semi Palar ada titik persimpangan apakah akan melanjutkan ke jenjang SMA atau berhenti di jenjang SMP. Bukan keputusan sederhana, karena mengalami sendiri betapa menggulirkan sekolah dengan berpijak pada konsep pendidikan holistik sama sekali bukan perkara mudah. Diskusi demi diskusi digulirkan walaupun masih segala sesuatu masih berupa wacana.
Jawaban muncul dari tempat yang tidak terduga, bulan September 2014 saya diundang untuk berbagi di Kelas Inspirasi – Jogja. Entah dari mana rekan di Jogja pernah mendengar tentang Semi Palar dan saya diundang untuk sharing bersama mas Bahruddin dari sekolah Qoriyah Toyibah – Salatiga. Kebetulan sayapun sudah lama ingin mampir ke beberapa sekolah di Jogja – salah satunya ke SD Mangunan.
Tanpa direncanakan, kak Dhila yang sempat jadi guru di Semi Palar ikut berangkat menemani saya dan lebih istimewa lagi membantu mencarikan tempat menginap. Akhirnya kamipun bisa menginap di tempat yang istimewa – di Bumi Langit Institute, Imogiri. Tempat luar biasa yang dikelola pak Iskandar Waworuntu bersama teman-teman. Tiga malam saya menginap di sana. Waktu-waktu di mana saya tidak harus beraktifitas di Jogja saya habiskan di Bumi Langit sana. Dalam perjalanan itu juga selain jumpa dengan pak Iskandar, saya jadi berjumpa dengan banyak teman baru, Patrick Manurung, mas Anam Masrur yang mengelola kebun Permakultur di Bumi Langit, juga bertemu langsung dengan mas Singgih S Kartono dari desa Kandangan, Temanggung.

Bumi Langit Institute, Imogiri, Jogjakarta – September 2014
Singkat cerita, dalam perjalanan pulang, di kereta api, tidak terasa air mata saya menetes. Saya menangis. Ada perasaan sangat menggugah yang menegaskan bahwa perjalanan ke Jogja kali ini bukan perjalanan biasa. Di sela-sela obrolan dengan kak Dhila saya tidak berhenti berpikir dan merenung. Sebelum kereta api berhenti di Stasiun Bandung, saya sampai pada keyakinan bahwa memang jenjang SMA Smipa – yang kemudian kami namakan KPB (Kelompok Petualang Belajar) harus diwujudkan.
Sepanjang Semi Palar dirintis dan dihidupkan, kami belajar dan berusaha menerapkan prinsip2 pendidikan holistik. Di perbukitan Imogiri yang kering dan keras, saya menemukan tempat yang disebut Bumi Langit Institute dan di situ saya melihat langsung bahwa kehidupan yang holistik bisa dihidupi secara utuh dan nyata. Sepertinya hal itu yang membuat saya menangis di perjalanan pulang. Saya saat itu membatin bahwa di suatu waktu nanti, anak-anak yang belajar di Semi Palar mesti merasakan kehidupan yang holistik seperti di yang saya rasakan di Bumi Langit Institute. Dalam perenungan itulah saya meyakini bahwa Semi Palar mesti memberanikan diri melangkah ke jenjang lanjutan setelah SMP untuk menggenapi proses belajar anak-anak Semi Palar. Lagipula di saat itu, kamipun sudah tidak sendiri – ada teman-teman yang siap membantu menggulirkan KPB. Dan itulah yang berjalan sampai hari ini.
Awal Tahun 2017
Beberapa waktu lalu, sekitar akhir Januari, saya menerima pesan WA di hape saya. Pesan saya terima dari seorang teman yang sudah lama sekali tidak jumpa. Teman ini namanya Unang. Saya kenal Unang dari pertemanan saya di komunitas jauh sebelum Semi Palar. Sebuah komunitas keren yang namanya KSK (Komunitas Sahabat Kota). Penggagas dan penggeraknya adalah anak-anak muda yang buat saya luar biasa inspiratif. Di dalamnya ada Kandi Sekarwulan, Dimas Sandya, Agni Yoga Airlangga dan kawan-kawan. Unang adalah salah satu aktivis di KSK juga. Dulu saya membatin “mestinya seperti inilah anak-anak muda Indonesia : kreatif, inovatif, berinisiatif aktif dan lain sebagainya”. Pendek kata saya kagum sama mereka.
Hari itu saya menerima pesan WA dari Unang, intinya ingin mampir bersama seorang teman dan ngobrol-ngobrol soal Pendidikan. Sejauh waktu memungkinkan, ajakan-ajakan ngobrol seperti itu tidak pernah saya tolak. Apalagi datang dari seorang teman lama. Saya kembali ke pemikiran saya “tidak ada peristiwa kebetulan”.
Awal Februari, Unang dan 2 temannya Aif dan Rudi mampir ke Semi Palar. Kitapun berkenalan dan berbincang. Tidak terlalu ada yang istimewa kecuali bahwa kita sama2 punya keprihatinan terhadap dunia pendidikan. Sayapun bercerita tentang apa yang selama ini diupayakan di Semi Palar. Di akhir pertemuan, Aif memang menyampaikan bahwa punya keinginan merintis sebuah sekolah di Kuningan. Aif dan keluarga memang berasal, tinggal dan beraktifitas di Kuningan.
Februari – September 2017
Banyak hal terjadi setelah kunjungan Unang dan Aif ke Semi Palar. Di bulan Maret saya pergi ke desa Kandangan, Temanggung. Mas Singgih yang saya jumpai di kediaman pak Iskandar (Bumi Langit) bulan September 2014, bisa saya temui lagi secara langsung di kediamannya di desa Kandangan, Temanggung.
Rico menetapkan proyek mandiri KPB-nya di sana, dan kemudian tinggal selama lebih dari 2 bulan di desa Kandangan, Temanggung. Di sana Rico membantu tim Spedagi menyelenggarakan Pasar Papringan di Dusun Ngadiprono. Melalui proses inilah, saya pun belajar tentang konsep-konsep Revitalisasi Desa yang selama ini melatar-belakangi berbagai kegiatan yang digulirkan oleh Mas Singgih dan timnya melalui Magno dan Spedagi. Catatan tentang ini saya tuliskan di 3 bagian tulisan terpisah :
bagian 1 : Perjalanan ke Desa Kandangan,
bagian 2 : Kisah dari Kandangan | Spedagi Movement dan
bagian 3 : Catatan dari Kandangan | Dari Desa untuk Dunia.
Bulan Mei 2017 saya bersama Lyn dan Inka pergi ke Jawa Tengah. Kami berkesempatan tinggal di Desa Kandangan dan melihat langsung penyelenggaraan Pasar Papringan Ngadiprono. Kami juga sempat mampir lagi ke perbukitan Imogiri dan melihat-lihat Bumi Langit Institute dan berbincang dengan mas Anam Masrur di sana.
Sejalan dengan waktu, saya juga beberapa kali bertukar pikiran dengan kang Lala dari kampung Sekepicung – salah satu tempat belajar teman-teman KPB. Kang Lala bersama istrinya banyak menggerakan warga Kampung Sekepicung untuk berkolaborasi dengan berbagai komunitas. Membangun sinergi supaya situasi2 yang dihadapi masyarakat setempat terkait bisa sedikit demi sedikit teratasi. Kang Lala ini yang memiliki kepedulian dan bisa menangkap isu-isu yang muncul di masyarakatnya karena terpengaruh modernisasi kota Bandung. Melalui kesempatan-kesempatan ini juga wacana tentang kehidupan desa dan kota jadi berkecamuk di dalam pemikiran saya – dan ternyata juga dalam benak teman-teman saya. Salah satu catatannya saya tuliskan dalam blogpost saya yang berjudul : Melihat ke Belakang Realita.
Di Semi Palar – tanpa banyak direncanakan – bergulir Semi Palar Solar Project. Proyek ini tanpa disadari membuat orang-orang tua yang terlibat di dalamnya banyak bertukar wacana dan pemikiran. Setelah proyek kecil Panel Surya berhasil dirakit dan berfungsi, beberapa dari rekan-rekan Solar Project spontan bertanya : “apa selanjutnya?”. Ada beberapa gagasan muncul, tapi yang paling menarik adalah buat beberapa teman, keinginan pindah ke desa muncul kuat. Sejalan dengan itu, sempat muncul juga obrolan tentang Bunker Roy – seorang India bergelar PhD yang menginisiasi Barefoot College. Sebuah inisiatif pendidikan untuk orang-orang miskin. Bunker Roy yang belajar di universitas mahal di India memutuskan untuk pindah ke salah satu daerah termiskin di India untuk menyumbangkan hidup, karya dan pemikiran intelektualnya di sana.
Dari situlah muncul gagasan bersama untuk membuat grup WA PhD Smipa. Terinspirasi dari Bunker Roy seorang PhD yang tinggal di desa. Singkatan PhD sendiri tidak merepresentasi program doktoral seperti di universitas. Secara sederhana PhD adalah singkatan kami untuk Pingin Hidup di Desa :). Awalnya hanya beranggotakan 5 orang. Tidak banyak yang tahu, karena kami sadar ini gagasan / wacana yang agak aneh, kalau tidak mau dibilang sangat aneh. Tapi toh wacana2 dipertukarkan di sana. Arsitektur – bangunan dari bambu, sumber enerji terbarukan, produksi pangan mandiri dan lain sebagainya.
Di awal TP13, kami memutuskan untuk berkumpul secara rutin setiap Jum’at pagi. Dan itulah yang kami lakukan. Saat posting ini dituliskan anggota grup WA PhD Smipa sudah bertambah menjadi 8 orang. Wacana-wacana dalam obrolan sudah semakin serius. Ada mimpi / angan-angan membuka cabang Semi Palar di desa. Grup PhD ini bersepakat untuk bersama-sama mencari kemungkinan untuk mewujudkannya.
Memetakan Perjalanan ke Depan
Sekitar beberapa minggu yang lalu iseng-iseng saya menghubungi Aif melalui WA – ingin tahu sejauh mana proses merintis sekolah yang dicita-citakannya. Respon Aif – proses sejauh ini terkendala orang-orang yang bisa mewujudkannya. Cukup sulit bagi Aif menemukan anggota tim yang bisa merealisasi gagasan tersebut. Obrolan berlanjut dan terlontar gagasan dari Aif “bagaimana kalau Semi Palar buka cabang di Kuningan? – kita bekerja sama.” Semacam itu kira-kira. Lontaran ini sangat di luar dugaan saya. Saya hanya merespon bahwa kita mesti jumpa lagi untuk bicara lebih jauh.
Minggu lalu, Aif, Rudi dan Unang kembali mampir di Semi Palar untuk bertukar gagasan, mencari kemungkinan. Saya bilang, ada titik temu – terkait visi kita bersama untuk apa yang bisa dikolaborasikan. Tapi bekerja sama untuk sebuah inisiatif pendidikan – apapun bentuknya perlu kesamaan visi dan komitmen yang kuat dan mendalam. Setelah visi bisa kita simpulkan beririsan – merealisasinya juga bukan perkara sederhana. Perlu ada spirit yang sama dan kemauan untuk bekerja sama. Pertemuan kemarin intinya adalah untuk berkenalan lebih jauh dan saling membaca gagasan apa yang ada di kepala kita masing-masing.
o iya saya ada di sana lho – sebagai pemegang kamera 🙂
Bagi saya pribadi, saya seperti kembali di titik yang saya alami 3 tahun ke belakang, saat memutuskan apakah Semi Palar akan melangkah ke jenjang SMA atau tidak. Saat itu jawaban hadir dari sumber yang tidak terduga. Saat inipun sedikit banyak saya sedang banyak merefleksikan proses panjang Semi Palar dan proses saya sebagai individu. Sudah 13 tahun saya membangun Semi Palar. Ada pertanyaan besar ke mana langkah saya selanjutnya perlu diarahkan. Ada banyak konsekuensi yang perlu dipikirkan dalam konteks saya sebagai pribadi, keluarga dan secara kelembagaan di Semi Palar. Saya yakin hal ini juga ada di teman2 semua yang saat ini terkoneksi melalui gagasan ini.
Penutup
Posting ini hanya mencoba mencatatkan proses, titik-titik pengalaman yang saya coba rangkaikan supaya lebih mudah dimaknai. Yang menjadi sangat menarik bagi saya adalah bahwa peristiwa2 ini terjadi di bulan September – bertepatan dengan bulan lahir Semi Palar. Kelahiran Semi Palar kami sepakati ada di tanggal 21 September 2004 – yang menurut catatan kami adalah hari kami bersepakat menggunakan nama Semi Palar (yang artinya Tumbuh Menjadi Harapan) sebagai identitas sekolah ini.
3 tahun yang lalu di bulan September saya berangkat ke Jogja bersama kak Dhila dan pulang untuk memutuskan mencoba merintis KPB. Tahun ini, sama di bulan September terjadi lagi sebuah pertemuan yang bagi saya bukan sebuah kebetulan belaka. Walaupun di titik ini akan ke mana ujungnya, sayapun tidak bisa menebak.
Berbeda dengan tahun 2004, hari ini saya tidak sendiri, tidak hanya bersegelintir saat ingin menggulirkan sekolah mulai dari jenjang terkecil. Hari ini ada banyak teman yang mudah2an membawa mimpi yang sama dan kalau bersepakat, mudah-mudahan hal yang diangankan bersama bisa direalisasi bersama juga. Mari kita jalani prosesnya.
Sekian.