bicara agama, kembali ke dasar…

 

Ada isu besar di republik ini beberapa waktu terakhir – bermulai dari isu agama. Hal ini sangat menjadi pemikiran saya karena berbagai fenomena menarik yang bermunculan di banyak forum obrolan (virtual) maupun di ruang interaksi sosial di masyarakat.

Yang jadi sering muncul – setidaknya bagi saya adalah kalimat “sudah lah ga usah menyinggung isu agama, soalnya sensitif”. Pernyataan tersebut kerap muncul di berbagai kesempatan. Walaupun sepintas seakan bijak, tapi ada hal fundamental yang menurut saya terlewatkan.

Kembali ke Dasar

Pertama-tama kita perlu ingat bahwa kita hidup di bumi Indonesia, di negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila. Negara yang dilambangkan Burung Garuda Pancasila menggenggam dengan kokoh pita putih bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika. Kemudian kita semua tahu, bahwa Sila Pertama, dasar negara yang pertama diucapkan adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Nah, sepertinya, kita semua lupa akan hal itu… Lupa bahwa kita Bangsa Indonesia mengakui Ke-Tuhan-an yang Satu. Sebagai dasar negara yang pertama, hal ini mendasari segala apa yang kita lakukan setelahnya.

Bhinneka Tunggal Ika, juga bicara tidak hanya bicara perbedaan, tapi juga persatuan. Perbedaan yang tidak berdiri sendiri tapi direkatkan dalam bingkai persatuan dan kesatuan bangsa. Sepertinya kita semua juga lupa atau jangan-jangan kita belum paham apa makna Bhinneka Tunggal Ika.

Karenanya apa yang saat ini muncul di layar kaca, di media massa dan berbagai media sosial, adalah sebuah ironi besar terkait dengan hal-hal fundamental yang mestinya jadi landasan segala hal yang mengejawantah di alam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Agama itu sensitif? Semestinya tidak. Agama – sebagai panduan moral dan tata cara kita berrelasi dengan Tuhan yang kita imani (catatan penting : Tuhan yang Esa, Tuhan yang satu dan sama), perlu ditempatkan dalam bingkai kesakralan dan saling menghormati yang tinggi. Bukan disebut sensitif tapi perlu sangat dihargai.

Yang terjadi sekarang, dengan bahasa ‘Agama itu Sensitif’, kita jadi kemudian saling menghindar dan menjauhkan diri. Yang terus digaungkan dan akhirnya tertanam menjadi paradigma kita adalah bahwa agama adalah perbedaan. Kembali lagi, kita lupa terhadap apa yang semestinya kita yakini dan kita amini yaitu perbedaan dalam bingkai persatuan, Juga bahwa Indonesia mendasarkan diri pada sila Ke-Tuhanan Yang Maha Esa – Tuhan yang satu. Kita tidak pernah boleh melupakan itu.

Indonesia.jpeg

ilustrasi : dari grup Whats’App

Saat kita tidak berhasil menemukan kesamaan / ke-satu-an itu, suasana ‘baik-baik saja’ yang tampak di berbagai ruang sosial di masyarakat hanya akan menjadi semu. Kesatuan Indonesia, hanya ada di tataran permukaan, tapi tidak solid, tidak mendasar. Hal ini, teman-teman, adalah sesuatu yang sangat perlu ditempatkan dalam relung kesadaran kita.

Tak Kenal maka Tak Sayang

Dalam konteks ini, maka kata-kata di atas menjadi sangat penting diyakini. Bagaimana kita justru bisa saling mengenal dan kemudian semakin menghargai di tengah perbedaan yang ada. Hal ini jadi luar biasa penting. Karenanya teman-teman, bicara tentang agama tidak boleh dihindari. Yang kita harus lakukan adalah belajar untuk melakukannya dengan membawa respek yang mendalam. Hal inilah yang mungkin kita tidak terbiasa.

Seperti kata guru saya kang Wawan Husein, setiap manusia adalah rahasia Ilahi. Karena Tuhanlah yang menggariskan kenapa saya lahir di keluarga Katolik dan kang Wawan dilahirkan di keluarga Islam. Tidak ada bisa yang memilih siapa dilahirkan sebagai apa… Bagaimana kita saling mengenal dan menyayangi adalah salah satu praktik beragama yang paling mendasar.

Belum lama ini saya menemukan kisah di samping ini. Betapa indahnya… Hal ini hanya mungkin terjadi saat kita saling mengenal, menghormati dan menyayangi.

Kalau kita lihat ke belakang, betapa masyarakat di berbagai daerah jauh lebih bijak dari masyarakat modern yang ke mana-mana menggenggam gawai (gadget). Banyak sekali masyarakat di daerah yang hidup berdampingan bahkan saling melengkapi. Saat Idul Fitri, umat non muslim ikut sibuk mempersiapkan perayaan, sebaliknya saat Natal, umat muslim ikut serta dalam perayaannya. Tautan berikut ini (10 potret wujud kerukunan antar umat beragama di Indonesia) adalah contoh-contoh dari apa masih bisa ditemukan seputar interaksi dan kerukunan antar agama di Indonesia. Tantangannya bagi kita adalah bagaimana kita semakin memperbanyak munculnya hal-hal tersebut di masyarakat. Kita bisa mulai di antara kita, di antara teman dan lingkungan terdekat – dan mengupayakan terbentuknya konektivitas yang betul-betul kuat dan tidak sekedar basa-basi.

wp-1480754818973.jpg

Hanya dengan cara itulah, Indonesia yang sejati, di mana Pancasila sebagai dasar negara betul-betul dimaknai, dihayati dan dihidupi, bisa diwujudkan dengan sebaik-baiknya. Mudah-mudahan kita bisa.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s