Kelas Semesta KPB Smipa sejak Kamis 21 April minggu lalu, membuka lagi satu pintu pembelajaran yang semakin menegaskan kompleksitas kedirian manusia dari berbagai aspeknya. Kali ini yang kita coba pahami lebih jauh adalah bagaimana bekerjanya pikiran manusia atau bahasa kerennya Cognitive Functions. Forum belajar ini difasilitasi oleh 1%Lab. Lebih rincinya saya ceritakan lebih lanjut di bagian penutup tulisan ini.
https://www.instagram.com/p/BTBr9hmBsq
Memetakan Fungsi Kognitif Manusia
Kembali ke pokok tulisan ini, Kelas Semesta KPB ini diberi tajuk Everybody’s a Super Hero. Kelas ini adalah kelas pengenalan terhadap Neo Jungian Personality Theory – disingkat NJPT. Beberapa waktu lalu hal ini sempat banyak dikenal dengan MBTI atau The 16 Personalities. NJPT adalah kajian lanjutan mengenai MBTI tersebut. Bedanya, NJPT bukan sekedar jawab-jawab pertanyaan kuis dan mendapatkan label untuk tipe personaliti kita. Jauh lebih penting dari itu, kelas ini mengajak kita memahami peta cara berpikir kita, bagaimana fungsi kognitif kita berbeda dari orang lain, dan memahami kenapa berbeda. Dengan memahami ini, kita juga belajar bahwa masing-masing dari kita berpotensi jadi Superhero. Dari gagasan inilah judul forum belajar ini berasal. Kita bisa memaksimalkan potensi diri kita (memunculkan sisi Hero kita) apabila kita kenal bagaimana fungsi2 kognitif kita bekerja dalam berbagai situasi, kemudian mewaspadai kapan ‘the dark side‘ (disebut sebagai Shadow) bisa mendominasi cara berpikir kita dan mengganggu bagaimana kita berpikir, bersikap dan bertindak dalam berbagai situasi.
Lebih penting lagi dalam konteks di mana kita beraktivitas sehari-hari – yang tidak bisa lepas dari interaksi kita dengan manusia lain. Pemahaman tentang ini membuat kita bisa mengenal cara berpikir rekan-rekan sekerja kita, merespon berbagai situasi interaksi dengan tepat dan dengan demikian bisa memunculkan sinergi terbaik dari kolaborasi kita satu sama lain.
Sederhananya, sejauh pemahaman saya – ada empat fungsi kognitif yang bisa dibedakan saat seorang manusia mencerap kemudian mengolah sesuatu di dalam benaknya. Masing-masing fungsi tersebut adalah Sensing, Intuition, Thinking dan Feeling. Sensing [S] adalah cara berpikir yang banyak dikendalikan oleh fungsi Sensori / badaniah. Intuition [N] adalah fungsi kognitif yang banyak lebih didominasi sisi intuisi; cara berpikir yang cenderung lebih filosofis (mendalam). Thinking [T] adalah orang-orang yang cara berpikirnya didominasi oleh pemikiran2 teoritis, logika, struktur dan lain sebagainya. Terakhir, Feeling [F] seperti namanya menggambarkan orang-orang yang lebih dominan bekerja dengan perasaan dan emosinya.
Yang menarik, untuk ke empat fungsi kognitif ini, masing-masing terbagi dua juga, yaitu orientasi berpikirnya ke dalam atau ke luar. Jadi ada orang yang pola pikirnya Thinking Extroverted dan sebaliknya Thinking Introverted. Begitu juga untuk tiga fungsi kognitif yang lain. Jadi ada 8 tipe dasar fungsi kognitif manusia. Saat dibahas lebih jauh, setiap manusia memiliki ke delapan fungsi kognitif ini. Nah di sinilah kita bisa mulai membayangkan kompleksitas dinamika berpikir manusia yang sangat bervariasi. Kenapa kita banyak mengalami bahwa kita bisa nyambung saat bekerja sama dengan orang tertentu dan sebaliknya merasa sama sekali ga nyambung dengan orang-orang lainnya. Penjelasan sederhananya adalah bahwa kita punya peta pola pikir yang berbeda dengan orang lain. Menarik. Sangat menarik. Singkat kata, keren banget sih ilmu NJPT ini. Sangat nyambung dan aplikatif dengan konsep yang dibawa oleh Semi Palar melalui Pembelajaran Holistiknya.
NJPT dan Konsep Semi Palar – di mana koneksinya?
Melalui konsep pembelajarannya, sebetulnya perihal perbedaan cara berpikir manusia ini sudah menjadi salah satu hal yang cukup disadari dan mendasari proses belajar di Semi Palar. Jargon Semi Palar : Menemukan Bintangku Sendiri adalah salah satunya. Bagaimana masing-masing dari kita menemukan siapa diri kita, mengenali diri kita sebagai individu, bagaimana kita sebagai individu ‘beroperasi’, apa kekuatan dan kelemahan kita dan bagaimana kita bisa saling melengkapi dalam interaksi dengan individu lain yang ada di sekitar kita.
Karenanya memahami bagaimana kita berpikir (berfungsi secara kognitif) adalah salah satu kuncinya.
Apa yang disharingkan oleh teman2 dari 1%Lab memberikan kerangka teori / struktur untuk memahami ini lebih jelas dan akurat. Jadi buat kami di Semi Palar, ini adalah satu kepingan puzzle yang penting buat proses belajar kami secara individu maupun secara lembaga.
Tentunya blogpost ini hanya bisa bercerita tentang pengalaman belajar saya pribadi bersama teman-teman yang hadir di Kelas Semesta tersebut. Apresiasi besar buat Grey dan teman-teman 1%Lab yang bersedia hadir dan berbagi di Semi Palar. Salut buat fasilitasi belajar dan antusiasmenya yang sangat terasa saat dibagikan buat kami di forum kemarin.
Penutup
Carut marut peradaban manusia sampai hari ini – menurut hemat saya adalah terutama disebabkan kegagalan manusia mengenal dirinya sendiri. Karena tidak kenal diri sendiri, manusia juga gagal menempatkan dirinya di tengah masyarakat, dalam alur waktu dan dinamika arus peradaban manusia yang luar biasa kompleks. Menempatkan diri dalam dinamika kehidupan manusia, setiap individu membutuhkan keajegan – kesadaran diri yang tinggi untuk bisa menavigasinya dengan baik. Apa yang dibagikan 1%Lab kemarin menjadi sangat penting dalam konteks kita semua memahami diri kita masing-masing dan orang lain di sekitar kita.
Terima kasih banyak.
_/\_ Namaste.
Catatan Kaki Kelas Semesta – Membongkar Kotak Mudah dan Sulit
Kelas semesta KPB kali ini dikawal oleh 1%Lab, melalui dua sesi yang dibawakan oleh kawan-kawan muda Greythama Tornado, Gadis Azahra bersama teman2 lain seperti Triadi dan Bibil (punten kalau ada salah penulisan nama ya). Wah, bukankah topik ini sesuatu yang teramat sulit? Kok anak-anak selevel SMA di kenalkan dengan materi seperti ini. Ini kan ranah metakognisi – mengenai memahami bagaimana cara berpikir manusia.
Hmm, oke. Buat yang berpikir seperti ini, mungkin pola pikir kita masih dibatasi oleh kotak-kotak, batasan dan standar-standar – terpola apa yang dulu kita kenal selama belasan tahun menjalani pendidikan di sekolah, sejak kita kecil dulu.
Maksudnya bagaimana? Melipir dulu ya. Menurut saya ini adalah semacam ‘perangkap’ sistem pendidikan yang selama ini kita kenal, berupa kotak-kotak penjenjangan tahapan dan ilmu pengetahuan. Di dalam Sistem Pendidikan Tinggi misalnya, dirancangkan tahapan jenjang S1, S2 dan S3. S1 jenjang Sarjana lalu jenjang Master dan kemudian S3 PhD (Doctor of Philosophy). Dengan segala hormat kepada perancang sistem pendidikan dan para penyelenggara program Doktorat, sistem pendidikan di atas seakan-akan menyiratkan bahwa ilmu yang mendasar (filsafat) – (baca: sulit) hanya menjadi domainnya jenjang S3. Buat saya ada pertanyaan mendasar: “Kenapa anak-anak atau bahkan mahasiswa S1 seakan tidak boleh belajar atau mendalami hal-hal filosofis?” Kalaupun tidak begitu, “Sejauh manakah para siswa dan mahasiswa punya ruang atau difasilitasi untuk belajar filsafat atau membedah secara filosofis hal-hal yang dipelajarinya di sekolah atau di kampus?”
Jadi ada semacam pengkotak-kotakan keilmuan di sana. Semacam begitu. Di samping itu, kalau kita percaya bahwa proses belajar adalah proses yang sifatnya konstruktifis (bahwa setiap pembelajar mengkonstruksikan pemahaman mereka masing-masing), lalu tidakkah batasan-batasan yang ada itu malahan jadi penghambat atau pembatas proses belajar kita? Hehe, mohon maaf, ini hanya pertanyaan usil di benak saya saja. Jadi, mari bongkar kotak-kotak kita dan tak henti belajar. Mari bebaskan cerapan pengetahuan pada sang pembelajar… Mudah dan Sulit tidak jadi terlalu penting toh? 🙂
Salam.