Beberapa waktu lalu saya menyempatkan diri hadir di satu pertunjukkan seni. Sebuah peristiwa kebudayaan yang digelar di Nu’Art Sculpture Park– Ruang Seni milik seniman Nyoman Nuarta. Beliau ini yang terus berproses membangun Garuda Wisnu Kencana di Bali.
Seperti halnya teater, dulu dunia kesenian bukan dunia yang akrab buat saya – khususnya seni olah tubuh. Sejak sekitar 16 tahun yang lalu, di Trimatra Center, ruang komunitas di Dago yang pernah dulu digeluti bersama teman-teman, sayapun mulai berkenalan dengan dunia seni olah tubuh ini. Dimulai dari perkenalan saya dengan Teater Tarian Mahesa – yang digagas oleh rekan Gusjur Mahesa yang mengajukan untuk menggelar lelang teater di Pendopo Trimatra Center.
Saya juga berkesempatan menghadiri pertunjukkan tari yang digelar oleh mas Prapto (Suprapto Suryodarmo) berkolaborasi dengan seniman-seniman Bandung seperti Tisna Sanjaya, Toni Kanwa Adikusumah dan tokoh-tokoh lainnya. Waktu itu pertunjukan digelar di teater terbuka Seni Rupa ITB juga di sekitar tahun 2000-an. Saat saya hadir di sana, saya hanya terbengong-bengong, tidak bisa memahami apa yang dihadirkan di atas pentas. Yang saya tahu, tarian Mas Prapto dan teman-temannya adalah tarian menyambut bulan purnama… waktu itu, pikiran awam saya hanya begini,”Ini apa-apaan sudah tahun 2.000, milenium baru, masih ada orang yang menari menyambut bulan purnama…” Buat saya saat itu, apa yang saya saksikan tidak berhasil masuk dalam logika berpikir saya. Tapi saya menyaksikan tarian tersebut sampai selesai, sekitar pukul 11 malam. Salah satu penarinya menutup pertunjukkan dengan memerciki para penonton dengan air putih, kemudian sedikit menjelaskan berbagai simbolisasi yang diekspresikan melalui gerakan-gerakan para penampilnya. Mudah-mudahan suatu waktu saya sempat bercerita lebih jauh tentang ini.
Sejak memberanikan masuk ruang2 yang dulu asing buat saya, saya punya kegandrungan tersendiri terhadap seni olah tubuh ini – setidaknya sebagai penonton. Ada hal yang didapat – setelah menyaksikan pertunjukan-pertunjukan semacam ini setiap kali pulang ke rumah. Sejauh punya kesempatan, saya jadi mengupayakan untuk menyaksikan pertunjukan semacam ini, tari, teater, dan sejenisnya.
Sasikirana Dance Camp: Dance, City, Density, kali ini juga sama – sebuah pagelaran seni olah tubuh. Tentunya dengan olahan dan konsep yang sangat berbeda. Tapi kali ini saya hadir dengan apresiasi yang rasanya berbeda juga. Rasanya sudah lebih mampu mengapresiasi 🙂 Kali ini juga saya hadir bersama Rico dan Inka. Dan sangat menyenangkan di NuArt saya bisa berjumpa dengan banyak teman lama yang dulu saya kenal melalui berbagai komunitas.
Pagelaran ini ternyata kolaborasi penari – nasional (dari berbagai daerah), bahkan internasional. Keren banget. Selama beberapa waktu secara intensif para penari tinggal bersama mengeksplorasi, berkreasi dan berlatih untuk pagelaran ini di bawah bimbingan beberapa pelatih / instruktur. Tarian yang dipergelarkan memang menarik. Istilah sederhananya mungkin kontemporer. Mereka menari – bergerak menggunakan segenap anggota tubuhnya untuk merespon ruang. Yang dilakukan adalah menghayati ruang dan mengekspresikan penghayatan – individual maupun kolektif – melalui gerak tubuh mereka.
Menarik sekali melihat bagaimana para penari berinteraksi dengan segala yang ada di sana di sekitar mereka, dengan bayangan, dengan cahaya, dengan pepohonan, daun dan bunga, dengan dinding dan tangga, dan air mancur yang juga bergerak seakan menari bersama mereka. Panggung mereka beratapkan langit dan naungan pepohonan besar. Lantai panggung mereka beralaskan rumput dan serakan dedaunan. Musik yang terdengar, muncul dari suara jejak kaki mereka, dari tabrakan tubuh mereka dengan air, dan suara kelebat kain yang mereka kenakan.
Di perjalanan pulang, muncul obrolan pendek dengan Inka dan Rico, “Hmm, beberapa tarian aku ga bisa ngerti…”, lalu ditanggapi juga, “Yaa, ga selalu harus dingertiin kok, dinikmati saja”. Memang betul seringkali otak kita yang bekerja dan berusaha memahami, padahal, rasa yang semestinya bicara dan mencerap… Sepertinya menyaksikan pertunjukan seni seperti ini, memang tujuannya mengolah rasa kita – menyentuh nurani kita… Supaya diri kita lebih utuh, lebih seimbang.
Di atas ini beberapa rekaman gambar yang sempat saya ambil saat menyaksikan pertunjukkan tersebut. Ada lima judul tarian yang disajikan, masing-masing bertempat di ruang yang berbeda-beda. Setidaknya membantu menggambarkan apa yang saya coba tuliskan di atas. Tentunya sulit membayangkan segala dinamika yang terjadi lewat gambar-gambar yang tak bergerak. Memang kita harus hadir di sana untuk merasakan langsung enerji yang ada… aura dari tempat yang menjadi latar peristiwa ini.
Catatan penutup:
Buat masyarakat modern, peristiwa budaya adalah sesuatu yang sangat berjarak dari kehidupan sehari-hari. Bagi kita tarian, musik, teater, seni rupa adalah sebuah tontonan. Kita masyarakat adalah sekedar pemirsa, penikmat – bukan lagi pelakunya. Sekarang ini masyarakat semakin terpisah. Ada dikotomi yang semakin jelas antara pegiat seni dan penikmat seni.
Dulu di masyarakat tradisi, proses kehidupan tak terpisahkan dari proses kebudayaan. Pesta rakyat terjadi saat musim tanam, saat mau panen, saat ada yang pindah rumah, saat membangun rumah, mau menebang pohon, mau menggali sumur… Dulu semuanya disebut tarian rakyat, musik rakyat, teater rakyat. Yang maen ya rakyat, yang nonton ya rakyat… Semua partisipatif. Sekarang semua bergeser – salah satunya terkena dampak industrialisasi dan komersialisasi.
Intinya, dulu masyarakat adalah juga pelaku aktif kebudayaan, sekarang masyarakat sangat berjarak dengan peristiwa2 kebudayaan. Kalau dulu masyarakat adalah bagian integral dari proses kebudayaan, sekarang seakan-akan masyarakat harus bergerak dan mengupayakan agar tidak terlepas dari aktivitas kebudayaan yang sebetulnya sangat dibutuhkan untuk menjadi menusia yang lebih utuh, lebih lengkap.