kisah dari kandangan : spedagi movement [2/3]

wp-1489888315219.jpg

Saya memang suka bersepeda, karenanya sepeda bambu yang dibuat oleh mas Singgih di Kandangan segera menarik minat saya. Saya pikir awalnya Spedagi hanya sebuah produk. Varian produk dari rangkaian produk yang dibuat oleh workshop di Kandangan setelah radio kayu. Sewaktu jumpa mas Singgih di Bumi Langit, Imogiri, mas Singgih menyebutkan tentang ICVR (International Conference on Village Revitalization). Waktu itu saya belum terlalu ngeh apa itu maksudnya – selain bahwa mas Singgih juga punya minat tertentu terhadap Revitalisasi Pedesaan.

Kunjungan saya ke Kandangan minggu lalu membuka pemahaman saya tentang hal tersebut apalagi setelah saya dan Rico diajak mampir ke sebuah lokasi baru di mana Pasar Papringan yang berikutnya akan digelar. Pasar Papringan adalah salah satu proyek – bagian dari gerakan Revitalisasi Pedesaan yang dimotori Spedagi. Lokasinya sendiri belum boleh ‘dipublikasikan’ karena pasar di lokasi ini masih dalam tahap proses2 pendahuluan. Pasar Papringan sebelumnya digelar di Dusun Kelingan.

(klik gambar di bawah ini untuk follow Instagram @pasarpapringan)

Snap 2017-03-19 at 07.33.06.jpg

Mengangkat Potensi Lokal : Revitalisasi Pedesaan

Mungkin inilah human nature : cenderung mengabaikan apa yang ada di sekeliling kita. Taking things for granted. Orang desa ingin ke kota, banyak orang kota liburan ingin ke desa. Orang Indonesia ingin ke luar negeri, orang luar negeri ingin ke Indonesia…

Sepertinya inilah esensi gerakan Revitalisasi Pedesaan (sejauh pemahaman saya di titik ini). Menyadarkan masyarakat desa bahwa mereka hidup di tempat dengan sejuta potensi. Kota sebaliknya menghadirkan sejuta permasalahan. Hanya karena label maju dan modern, semua orang desa ingin berpindah tinggal ke kota – sama seperti halnya orang kota ingin pindah ke luar negeri.

Menarik bahwa fenomena ini terjelaskan oleh paparan yang diberikan Prof. Jacob Sumarjo di kelas semesta KPB Smipa, sekitar 4 minggu sebelum saya berkunjung ke Temanggung. Ini adalah dampak dari pola pikir modern yang telah menggeser pola pikir masyarakat tradisi Indonesia (yang sebetulnya orisinal). Sederhananya, pola pikir barat (disebut modern) itu linear. Satu arah; tidak pernah melihat ke belakang. Kalau satu hal sudah dianggap tertinggal, segera hal itu dilupakan dan diganti. Masa lalu sekedar dianggap romantisme, bagian dari sejarah – tapi tidak berdampak kepada kehidupan masa kini.

Sebaliknya masyarakat tradisi punya pola berpikir berputar – siklikal. Ada waktu-waktu mereka kembali ke titik awal – semacam back azimuth – sehingga ada bentuk-bentuk kearifan yang terus dibawa (diterjemahkan kembali) sejalan dengan bergulirnya waktu. Cara pandang dualistik (panas-dingin, atas-bawah, masa lalu-masa depan) yang dibawanya membuat masyarakat tradisi lebih bisa mewujudkan harmoni. Masalahnya pola pikir barat ini sudah menggeser cara berpikir kita semua bahkan mereka yang hidup di pedesaan, dan sepertinya hanya tersisa di sekelompok masyarakat adat yang masih berusaha berpegang pada kearifan kebudayaan lokal mereka.

Mas Singgih saya kira punya pandangan yang berbeda – karenanya setelah usai studi di Desain Produk ITB, mas Singgih memilih kembali ke kampungnya di Desa Kandangan dan bergerak membangun potensi lokal daerahnya. Spedagi Movement yang diinisasi di desa Kandangan tentunya punya pijakan berpikir yang berbeda dari paradigma kita semua tentang kemajuan. Tanpa berpretensi melebih-lebihkan, saya melihat bahwa semestinya orang-orang yang berpikir seperti inilah yang layak menyandang gelar intelektual.

Jadi Spedagi adalah lebih sebuah gerakan daripada sebuah produk. Sepeda Bambu Spedagi – seperti halnya Radio Kayu Magno adalah ikon / simbol dari desa / masyarakat pedesaan yang bangkit (bisa dibangkitkan) bahkan sampai level internasional. Di bawah ini saya akan bercerita tentang sang Sepeda Bambu dan gerakan Spedagi yang diwujudkan melalui proyek-proyek Revitalisasi Pedesaan.

tentang Sepeda Bambu

Seperti saya bilang, saya suka sepeda, saya juga suka desain-desain bagus. I love great designs! Barang-barang dengan fungsionalitas yang bagus dan estetika yang tinggi. Sepeda bambu dan Radio Kayu-nya dari Desa Kandangan ini masuk barang-barang favorit saya, lebih spesial lagi karena keduanya ini produk lokal.

Minggu lalu saya berkesempatan mengamati bagaimana proses produksi Sepeda Bambu yang berjalan di sana. Atas ijin mbak Tri, saya diperbolehkan memotret sebagian dari komponen-komponen sepedanya. Evolusi desain sudah berjalan cukup panjang, karena seperti namanya Pringsewelas, Spedagi sudah melewati 10 tahapan pengembangan desain dan prototip, sampai ke model yang sekarang diproduksi dan dipasarkan.

Hal ini yang luar biasa, dari desa menuju dunia. Hal ini, menurut pandangan saya adalah salah satu perwujudan konsep Globalisasi yang paling tepat.

Semua komponen Spedagi dibuat dengan tangan (handmade) dengan bantuan peralatan sederhana oleh para pengrajinnya – masyarakat Desa Kandangan. Prosesnya sendiri tidak boleh disajikan di sini, jadi silakan teman-teman mampir dan melihat sendiri bagaimana

Pasar Papringan : bagian dari Spedagi Movement

Bersama tim Spedagi, saya berkesempatan mengunjungi lokasi Pasar Papringan yang baru.  Lokasi baru ini ada di balik (punggungan) sebuah desa berjarak 10 km. dari desa Kandangan. Nama desanya sendiri masih dirahasiakan – sehubungan dengan proses persiapan Pasar Papringan yang masih di tahap awal.

Hutan bambu ini membatasi lingkungan perumahan dan daerah pesawahan. Saya dapat cerita, sebelumnya hutan bambu ini kumuh, gelap, berantakan. Papringan ini jadi tempat pembuangan sampah warga desa di sana. Saat saya ke sana, suasananya sudah berbeda. rumpun2 bambu sudah dirapikan, dengan ruang2 beraktivitas yang jadinya terbuka dan sekarang jadi tempat bermain anak-anak desa. Masalah jadi solusi. Itulah pendekatan revitalisasi yang dilakukan Spedagi, dengan mengintervensi masyarakat setempat, membangun kesadaran terhadap potensi dan kemudian mengaktifkan (memberdayakan) keterlibatan masyarakat setempat.

wp-1489921396788.jpg

Di hutan bambu itu saya bersama rekan-rekan tim Spedagi dan pemuda desa setempat menghabiskan waktu dari siang sampai sore hari. Sempat mampir ke base camp Spedagi di sana – dan berbincang bersama tim Spedagi yang tinggal di lokasi dan sedang melakukan social mapping di desa tersebut. O iya kebetulan hadir juga 4 orang teman-teman relawan Pasar Papringan yang pertama di Kelingan.

Sekitar setengah 3 sore kami kembali ke Papringan untuk ngelemang dan membuat Degan Bakar bersama anak-anak muda desa sana. Kehadiran kami di sana kami manfaatkan untuk sekalian test menu penganan tradisional yang rencananya akan ikut mengisi Pasar Papringan nanti. Merekapun memotong bambu dan membersihkannya, menyiapkan kayu bakar dan bahan-bahan yang akan dimasak di sana. Sambil berbincang dan bercanda kamipun bergantian menjajal cara memasak yang tentunya jarang kita temui. Ngelemang ini-pun sudah tidak banyak lagi dipraktekkan oleh warga desa sana – menjadi sesuatu yang mulai hilang ditelan jaman.

Sayapun mengamati dan menikmati keseluruhan suasana sambil menunggu lemang diangkat dari api dan dinikmati bersama. Banyak yang tidak menyadari hal-hal seperti inilah yang hilang dan tidak tergantikan oleh apa yang disebut dengan kemajuan atau modernitas : relasi sosial yang tulus, relasi dengan alam. Hal-hal yang sebetulnya esensial buat kehidupan tapi semakin ditinggalkan karena sekarang dilabeli ‘ketinggalan jaman’. Di tengah segala kesahajaannya, suasana di Papringan itu tanpa disadari membuat saya tersenyum, berpikir, sambil merefleksi. Apa yang dialami di sana, buat saya betul-betul berharga dan tidak ternilai, tidak bisa dibeli dengan uang. Saya pikir hal-hal inilah yang ingin dibangkitkan kembali oleh teman-teman Spedagi. Betapa beruntungnya saya bisa menemukan kembali suasana tersebut.

Sekitar jam 5 sore kamipun diundang untuk makan siang (yang tertunda) di kediaman mas Joko, salah satu warga desa tersebut. Kembali kami menikmati keramahan warga desa setempat. Seusai makan kamipun kembali berbincang sambil menikmati Degan Bakar. Ada dua orang muda yang buat saya juga inspiratif : Panji dan Tini. Keduanya memilih menjadi petani. Dan dari obrolan mereka ternyata aspirasi mereka juga menghadapi tantangan dari orang-orang terdekat. Tapi mereka tetap dengan pendiriannya dan memilih menjadi petani muda di sekitar Temanggung sana. Singkat kata saya menaruh respek dan apresiasi buat anak-anak muda yang memilih terlibat di proyek ini, proyek revitalisasi desa yang digagas oleh Mas Singgih melalui Spedagi Movementnya.

Sebelum mengakhiri saya kutipkan satu paragraf dari situs Spedagi.org

Dengan semua potensi dan permasalahan yang dihadapi desa sekarang ini, desa seharusnya tidak menjadi sebuah obyek tontonan dengan menjadikannya desa wisata. Desa perlu segera dibantu untuk diberdayakan, agar terhindar dari kehancuran dan bisa kembali menjadi komunitas yang mandiri dan lestari. Ketika hal tersebut bisa diwujudkan, desa bukan saja akan menarik untuk dikunjungi, namun akan menjadi salah satu pilihan tempat tinggal yang sehat secara fisik, sosial dan spiritual. Desa-desa yang lestari dan mandiri akan memberikan kontribusi positif pada pemecahan masalah perkotaan, bahkan lebih jauh lagi pada upaya mewujudkan kehidupan yang berkelanjutan dalam skala global. Spedagi dengan program-programnya bertujuan menarik pendatang dari luar untuk bersama-sama warga desa melakukan upaya revitalisasi desa untuk kemudian menjadikan desa-desa sebagai tempat hidup saat ini dan masa depan

Snap 2017-03-23 at 07.05.57.jpg

Penutup

Di bagian penutup ini saya ingin mencoba mengoneksikan apa yang sedang diupayakan di Semi Palar melalui Pendidikan Holistik dengan tulisan ini. Seperti pengalaman saya di Bumi Langit, perbukitan Imogiri tahun 2014, perjalanan singkat ini menegaskan kembali bagaimana bahwa kehidupan holistik yang sesungguhnya masih ada di pedesaan, di dalam lingkungan di mana relasi manusia dengan alam dan satu sama lain masih bisa mewujud dengan baik (baca kembali kutipan di atas).

Kota besar dengan segala dinamikanya menghadirkan terlalu banyak distorsi bagi masyarakatnya. Kita ingin hidup dekat dengan alam, tapi nyata benar bahwa alam sudah sulit dijangkau di lingkungan kota. Kita sangat berjarak dengan alam sehingga enerjinya tidak terasa. Kalaupun ada, alam kota terlalu artifisial. Kalau kita ingin hidup dalam relasi sosial yang sehat dan menghidupkan, kita dibatasi jarak dan berbagai kesibukan kehidupan kota besar.

Terlalu banyak diskoneksi. Padahal kehidupan yang utuh dan membahagiakan manusianya adalah hidup yang serba terkoneksi. Terkoneksi dengan alam, manusia lain dan Tuhan Sang Maha Pencipta.

Semoga tulisan ini bermanfaat.


Tulisan ini adalah bagian 2 dari 3 tulisan

Bagian 1 : Perjalanan ke Desa Kandangan
Bagian 2 : Kisah dari Kandangan : Spedagi Movement
Bagian 3 : Kisah dari Kandangan : Dari Desa untuk Dunia

Tulisan terkait : (ingin) pindah ke desa

2 thoughts on “kisah dari kandangan : spedagi movement [2/3]

  1. sejak dulu saya berpikir bahwa kebudayaan (lebih tepatnya peradaban) kita di nusantara menyimpan kualitas perkembangan yang stagnan, berbeda dengan kebudayaan barat yang progresif, maju terus menjadi semakin modern. lama saya berpikir demikian, hingga semakin hari semakin terpahami dan tergenapkan jika sebenarnya kemajuan peradaban tidak bisa diukur dari seberapa jauh ia berkembang menjadi semakin rasional dan modern, tapi dari seberapa jauh ia dapat bertahan terhadap laju perkembangan zaman. Siklikal, kalau menurut Pak Jacob. Berputar dalam keharmonisan. Dan memang alam semesta bekerja dalam pola siklus yang seperti itu, bukannya linear seperti kebudayaan modern yang malah banyak merusak keseimbangan alam.

    Terima kasih kak Andy, yang kembali mengingatkan jika kita sebagai masyarakat modern memang telah banyak melupakan kearifan lokal yang sebenarnya baik untuk tetap kita jaga dan lestarikan. 🙂

    Liked by 1 person

  2. Rasanya diajak kembali ke masa kecil. Hidup berdampingan dengan alam yg jujur dan apa adanya. Namun tidak lagi kita jumpai sekarang. Ketika pulang, kembali ke desa, justru lebih banyak menceritakan kehidupan kota dan berusahan menunjukkannya di sana. Rindu kampung tidak sejujurnya pada cara hidup kampung yang tentram. Namun mencari tenang, yang kini pun telah memudar. Desa kehilanhan desanya.
    Saya juga sempat berpikir desa wisata salah satu jawaban. Ternyata bukan. Desa wisata bukan “mengembalikan kejayaan” desa, bukan memberdayakan desa. Lebih kepada memperdaya desa. Menjadikannya “tontonan” orang kota yang kehilangan koneksi dengan alam.
    Masalah baru justru muncul. Sampah, alih fungsi lahan, dan gaya hidup orang desa yang justru meng-copy pengunjung dari kota.
    Saya pun masih mencari, arti dan bagaimana kembali menghidupkan “kejayaan desa”. Sementara terpaan modernisasi begitu deras.

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s